Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ketika Desain Sekolah Perbatasan Indonesia Menembus Publik Venesia Italia

Dari kuratorial yang disusun oleh Budi Pradono dengan firma Budi Pradono Architects, arsitek-arsitek itu ditantang menggambarkan Indonesia yang berbeda.

Sebuah proyek collareral event di Biennial Arsitektur Venesia 2018, yang diselenggarakan oleh European Cultural Centre dan Global Art Foundation di Palazzo Mora, Venesia itu senyatanya digagas dari situs-situs paling terpencil dan terdepan di Tanah Air. Lokasi geografisnya berbatasan dengan negara-negara tetangga.

Sebuah pameran yang disajikan memaknai artikulasi tegangan-tegangan antara yang memusat dan yang melokal lewat rancangan bangunan sekolah. Di tempat-tempat yang menjadi tapal batas bagi ingatan kolektif kita dan yang riil mengada.

Mereka membuat pernyataan bersama melalui lompatan-lompatan ide-ide imajinatif yang segar dan membebaskan.

Karya-karya desain aristektural itu dicirikan dengan merespons energi-energi yang kaya di tiap daerah, kuat berakar serta dinamis membuka cakrawala anyar.

Memahami keterbatasan-keterbatasan sarana serta fasilitas, ketersediaan material alam pun bersetia pada akar-akar filosofi tradisi masing-masing suku dan etnisitas yang ratusan tahun bermukim di sana.

Para arsitek memilah dan memilih, ruang-ruang arsitektural yang akan dipresentasikan di tapal-tapal batas dari yang terserak di antara 17 ribu pulau di Nusantara.

Sekolah-sekolah yang diharapkan menjadi soko guru masa depan, yang membekali perilaku mental dan intelektualitas–intelektualitas generasi mendatang. 

Konsep itu dijabarkan manifestasinya dalam bentuk-bentuk organik, intim dengan lingkungan alam atau menafsirkannya dalam desain ruang-ruang partisipatif yang dianggap mewakili karakteristik masing-masih daerah tersebut.


Tafsiran kerangka kuratorial

Budi Pradono dalam satu kesempatan menyampaikan pada penulis bahwa konsep kuratorial di collateral event, yang mengusung 11 arsitek tahun ini dengan juluk “In Between Boundaries” tidak tiba-tiba mewujud begitu saja.

Proses lama terjadi, tatkala pada 2016 ia memimpin sebuah proyek dari puluhan arsitek-arsitek Indonesia yang merespons soal “perbatasan” di Biennial Arsitektur Venesia.

Selain itu, mata uang Eropa yang merosot drastis, ekonomi global lesu, Inggris yang menarik diri dari Uni Eropa dan kondisi mendesak yang menyeru untuk kembali menengok isu–isu perbatasan antarnegara, konsep nasionalisme, batas-batas yang “melapuk” karena teknologi-informasi, sejarah masa silam, dll.

Dari tema dua tahun lalu, Budi kemudian menengok ulang ke wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain, yang ia katakan sebagai kondisi yang memprihatinkan. Ia terinspirasi lingkungan-lingkungan khusus yang ganjil tapi menantangnya, tentang tapal batas terdepan, yang semestinya sebagai desainer dan arsitek ia layak berbuat sesuatu.

Garis pemisah tegas yang berbatasan dengan negara lain, pada situsi laut atau kondisi daratan terhampar 92 titik pulau terdepan di sana. Sekitar 7 atau 8 wilayah langsung bersinggungan dengan negara tetangga.

Dari Venesia, kurator utama Biennial Arsitektur tahun ini, Yvonne Farrell & Shelly McNamara, yang menyodorkan tema "Ruang Untuk Semua” dengan juluk Free Space pada para partisipan arsitek dari seluruh dunia.

Kemudian oleh Budi ditafsirkan sebagai upaya membaca, meneliti serta memproyeksikan kebebasan-kebebasan yang layak dilakukan, meskipun dalam keterbatasan-keterbatasan.

“Di lokasi-lokasi terpencil itu, ada banyak arsitektur tradisional, namun selama 73 tahun kemerdekaan Indonesia, kita kurang banyak berbuat. Terutama memperhatikan bangunan-bangunan publiknya” ujar Budi.

Ia mengingatkan kita bahwa pada abad ke-17, bangsa Belanda, Spanyol, dan Inggris mengirim antropolog dan arsitek terbaiknya ke daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Selanjutnya, mereka bangsa-bangsa Eropa itu, mulai membangun arsitektural baru, atau tipologi bangunan yang sesuai dengan karakter khas mereka.

Misalnya, di Kepulauan Banda Neira, ada benteng, rumah pejabat dan pedagang pun gedung-gedung pemerintah yang semuanya dirancang dengan bagus oleh para arsitek ulung itu di zamannya.

Usai era kemerdekaan, daerah-daerah ini dibiarkan mengurus dirinya sendiri, membangun tanpa memahami aspek historisitas dan kultur lokal dalam perspektif ilmu arsitektur terkini.

Sementara itu, arsitek-arsitek setempat tak mampu menciptakan transformasi, mewariskan pengetahuan-pengetahuan yang memberi ruang-ruang terwarisi dari daya hidup azali mereka sendiri melihat masa depannya dengan belajar pada masa lampau.

“Interpretasi ‘Ruang Bebas’ sebagai kebebasan yang terbatas, tentu saja terkait dengan masalah tradisi, kapasitas sumber daya manusia, serta material lokal. Selain itu muatan utama pameran arsitektur di Venesia semestinya mencakup pengalaman ruang, pengalaman material, serta pengalaman artikulatif keseharian,” kata Budi.

Budi berargumentasi, bahwa pandangan yang sering muncul adalah ruang bebas sering memicu kontradiksi. Melahirkan dikotomi tentang yang bebas, terbuka dan inovatif di era siber, namun terbelenggu artefak dan warisan masa lalu.

Dari sana, menurut Budi, ada tantangan menyajikan simbol keberadaan batas dan ketidakhadirannya sekaligus menjadi bukan sebagai masalah yang bertentangan. Masa lalu tidak bisa menjadi musuh yang membelenggu, sementara masa depan bukan semata impian yang sama sekali bebas.

Budi memberi kita pengertian ruang bebas idealnya dipahami sebagai “kebebasan terbatas”; yang layak hadir dalam kontradiksi tegangan-tegangan yang terdikotomi itu. Ia menawarkan pada 11 arsitek-arsitek partisipan tersebut dengan pemikiran bebas menembus keterbatasan-keterbatasan persepsi.

Dalam konklusinya, Budi menyampaikan bahwa masa silam harus disikapi sebagai inspirasi masa depan. Tawaran pada 11 arsitek itu adalah upaya menjaga keteraturan dalam ketidakteraturan.

Ihwal yang disebut Budi, bahwa tradisi adalah jiwa dalam modernitas, menjadikannya lahan referensi dengan menyambut keterbukaan, sembari menjadi entitas dalam dirinya sendiri (batas yang tak terbatas).

Halaman berikutnya: Rancangan para partisipan


Rancangan para partisipan

Sebanyak 11 firma arsitek yang berpartisipasi di collateral event di Arsitektur Biennial Venesia 2018 itu adalah AI – CTLA, Asia Raya Studio, Budi Pradono Architects, GeTs Architects, GUJO Architects, MSSM Associates by RSI Group, PDW Architects, CivArch, Wahana Cipta Selaras, kemudian WAR Archtiects serta dari Yoka Sara International.

Penulis berupaya menjabarkan beberapa konsep secara naratif maupun inti dasar desain konstruksinya. Perhatian penulis terutama untuk empat rancangan arsitektur sekolah-sekolah di tapal batas.

Keempatnya dipilih hanya semata sebagai perwakilan, bukan atas dasar pilihan yang lebih baik. Penulis menilai, ke-11 rancangan desain semuanya menggugah kesadaran rancangan arsitektur berciri khas Indonesia. Berikut ini empat desain yang mewakili:


1. "Sekolah Garis Depan" (SGD) karya PDW Architecs

Mereka bermimpi mengembangkan pendidikan berkualitas bagi masyarakat lokal terdepan. Caranya dengan pendidikan yang baik dan kolaboratif serta mengadopsi nilai-nilai kearifan setempat.

"SGD" adalah kompleks gedung sekolah yang terdiri dari sekolah menengah umum (SMA) dan sekolah kebutuhan khusus (SLB) termasuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, asrama serta perumahan karyawan.

Pendekatan bangunan lahir dari proses menyatukan situs dengan fungsi-fungsinya yang baru. Saling terhubung menciptakan “percakapan antara fungsi dan alam”. Zonasi memberi penempatan area umum antara sekolah menengah dan sekolah kebutuhan khusus dengan penyediaan kompleks area yang terintegrasi.

Bentuk geometris melingkar dari ruang-ruang kelas diadaptasi dari rumah tradisional suku Honai di Papua. Selain itu, tata ruang kelas semi-lingkaran membantu pembentukan bentuk ruang kelas, tata letaknya metode pembelajaran yang kolaboratif, dukungan lingkungan yang lebih hidup yang mengundang partisipasi siswa.


2. "Mau Sekolah" karya WAR Architects

Konsep desain ini juga merespons “In Between Boundaries School”, yang memampukan menggubah paradigma sistem pendidikan konvensional menjadi sesuatu yang asli dalam nilai-nilai lokalitasnya. 

Desain ini mempertahankan kemampuannya tumbuh beradaptasi dengan nilai-nilai skolastik saat ini. Situsnya terletak di Maumere, Nusa Tenggara Timur, sebagai daerah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, dengan ciri pengaruh era kolonial berperan besar dalam sistem pendidikannya.

Gagasan konsep ini timbul untuk menguji dan membangun sekolah yang baru, yang tidak sama sekali menghilangkan sistem pendidikan kolonial lama, namun berperan menciptakan asimilasi antara batas-batas lama dan sekolah modern yang otentik.

Prosesnya memecah setiap batas-batas desain sekolah lama, meningkatkannya, memungkinkan hadirnya identitas lokal sekolah Indonesia.

Sistemnya adalah menawarkan orientasi terbuka, sesuai dengan prinsip proses pembelajaran era sebelum kolonialisme ada; jauh ke belakang dengan menyerap sistem belajar kuno; duduk bersama dalam kelompok-kelompok di lantai ruang, yang kemudian menjadi meja, kursi, dan akhirnya bertransformasi menjadi ruang kelas yang guyub.

Konsep yang berciri mirip pendopo (Jawa) ini kemudian diperluas, untuk menyediakan sirkulasi terbuka yang berkelanjutan. Seperti yang hampir bisa kita ketemukan di setiap perumahan asli di Nusantara, misalnya rumah gadang, rumah krong bade, rumah joglo, rumah tongkonan, rumah lamin, dll.

Materinya diperoleh dari bahan lokal, seperti rotan, batu bata, dan campuran batu lokal dengan beton, dengan atap bergelombang transparan, memberi cahaya dan sirkulasi udara yag memadai.

Dengan demikian, tiap unit kelas menciptakan sudut pandang yang unik, dengan perencanaan desain melingkar dari modul yang membentuk façade sekolah dalam waktu sama menerima sensitivitas materi lokal.

Konsep "Mau Sekolah" diharapkan memberi pengalaman berbeda dari kegiatan ajar-mengajar, yang membuka katup-katup desain Indonesia modern.


3. "Sungai Bening" karya Asia Raya Studio

Kedekatan dengan negara tetangga menjadikan Desa Sungai Bening sebagai salah satu desa di perbatasan yang penting. Eksistensi negara Indonesia dipertaruhkan dalam konteks relasi antar negara yang saling bertetangga.

Gagasan hadir, tatkala ada sekolah dengan lapangan besar (ruang terbuka) di tengah-tengah desa. Kegiatan sehari-hari yang bervariasi, memicu ide penggunaan ruang terbuka digubah menjadi “ruang bebas terbuka”.

Ini merupakan respons mendukung sekolah dengan sistemnya yang formal, sekaligus membuka interaksi antara sekolah dan lingkungannya. Hal tersebut membentuk aksi simultan sistem pendidikan formal-informal.

Perwujudannya adalah metode ajar-mengajar yang secara tidak langsung berelasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya.

Ruang terbuka diintegrasikan dengan bangunan sekolah dengan sebuah struktur-struktur tertentu, yang mengelilinginya. Secara filosofis, bangunan dengan konstruksi tersebut, terilhami dari rumah tradisional Dayak Salako (rumah betang) di desa Sungai Bening.

Rumah betang identik dengan kehidupan komunal di satu bangunan, yang menginspirasi pula model pendidikan dalam mendukung kegiatan formal sekolah.

Salah satu media interaksi sosial di rumah betang adalah pante, teras atau beranda yang digunakan masyarakat untuk bersosialisasi bersama-sama. Rumah tradisional dengan pante inilah yang menjadi "struktur" (teras atau beranda) dari sekolah yang ada.

Menggabungkan proses pembelajaran formal–infomal, seterusnya membuka interaksi siswa dengan lingkungan sosio-kulturnya.


4. "Sekolah Morotai" karya Budi Pradono Architecs

Setiap massa bangunan diselimuti oleh louvers untuk menghasilkan ruang di dalam ruangan. Hal tersebut menciptakan ruang spesifik tersendiri bagi setiap siswanya, memperkaya imajinasi mereka.

Kisi-kisi kayu di rancangan bangunan dibuat dengan teknologi pembuatan perahu tradisional. Teknik bergabung kayu ini adalah kemampuan lokal yang perlu terus dirawat dan dialihgenerasikan.

Semua komposisi massa di sekolah membentuk ruang semi-lingkaran sehingga aktivitas di langit, seperti awan-awan, atmosfir senja, fajar yang berubah-ubah warna sesuai cuaca, matahari yang terbenam, sinar semburatnya kala terbit, bintang-bintang di angkasa yang berkelip indah, selalu dapat dinikmati dari ruang kelas dan perpustakaan.

Komposisi bangunan ini adalah semacam kluster yang menyerupai rangkaian koleksi beragam perahu-perahu, yang berbeda dalam ukuran, skala dan komposisi.

Suatu area di sekolah juga dilengkapi akses wifi yang merangsang siswa dan civitas akademika terhubung ke dunia digital. Keterhubungan tersebut, dengan dunia internet akan memperkaya siswa dan masyarakat yang berdiam di pulau-pulau terpencil.

Bagaimanapun, para arsitek-arsitek itu, dengan caranya sendiri telah memaknai sekolah-sekolah lokal dengan pendekatan-pendekatan baru.

Dengan semangat dan tekad anyar, di area-area yang belum tentu kita tergerak hati dan berbekal keberanian berangkat ke sana, mereka memastikan diri melangkah, berbagi untuk sesama anak bangsa.

Kali ini publik dunia di kota Venesia akan tahu. Setidaknya, mereka melihat betapa optimisnya bangsa ini di tangan arsitek-arsitek ini, Memupus keragu-raguan bahwa tapal-tapal batas terluar itu pernah terabaikan keberadaanya.

https://properti.kompas.com/read/2018/06/03/232018221/ketika-desain-sekolah-perbatasan-indonesia-menembus-publik-venesia-italia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke