Beberapa pencakar langit di Jakarta misalnya, banyak yang menggunakan kaca, baik sebagai fasad atau bagian dari bangunan seperti lift dan pintu.
Meski demikian, ternyata ada kekurangan dalam pengaplikasiannya, yaitu belum ada aturan wajib untuk mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) pengamanan kaca yang bisa mengancam keselamatan pengguna gedung.
"Aturan SNI untuk kaca bangunan sudah lama diwajibkan sebagai mutu bangunan. Tapi, kaca sebagai pengaman bangunan itu belum diberlakukan secara wajib," ujar Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan saat jumpa pers glasstec di Jakarta, Selasa (13/3/2018).
Yustinus mengatakan, SNI untuk penggunaan kaca di beberapa bagian gedung ada yang sifatnya sukarela dan ada yang wajib. Artinya, untuk yang bersifat sukarela pemilik gedung bisa mengikuti SNI, bisa juga tidak.
Penggunaan kaca pada gedung lebih rumit dibandingkan pada mobil yang SNI-nya mengatur untuk dua bagian, yaitu kaca belakang dan kaca depan.
"Kalau ditanya jenis kaca apa yang cocok untuk lantai, kanopi, dinding, atau lift, pertimbangannya sangat banyak karena perlu interaksi glass prosesor dan arsitek," kata Yustinus.
Ia menyayangkan, belum ada kode bangunan dari pemerintah mengenai pengguna kaca di gedung terkait hal-hal tersebut.
Sebagai contoh, setiap orang yang diminta berjalan di atas jembatan kaca pasti akan merasa ragu akan ketahanan kaca tersebut. Apalagi, jika orang tersebut tidak mengetahui seberapa tebal kaca dan keamanan saat diinjak.
Kemudian misalnya kaca untuk lift, harus seberapa tebalnya dan jenis kaca apa yang harus digunakan.
"Kode bangunan ini belum dielaborasi menjadi wajib. Sejak 4 tahun lalu kita sudah mengupayakan SNI wajib, karena banyak kaca yang beredar di pasar tidak memenuhi syarat minimum keselamatannya," jelas Yustinus.
https://properti.kompas.com/read/2018/03/13/154043421/indonesia-belum-punya-aturan-wajib-sni-pengaman-kaca