JAKARTA, KompasProperti - Jumlah laporan terhadap Bank Indonesia (BI) yang diterima Ombudsman Repubik Indonesia, terkait kebijakan pemungutan biaya top up uang tol elektronik bertambah.
Meski bertambah, namun pelapor tetap setuju bila kebijakan transaksi non tunai atau cashless di gerbang tol (GT) diterapkan.
"Pengaduan ini lebih ke soal biaya top up-nya, bukan (penerapan) transaksi non tunainya. Kalau itu, pelapor setuju ini untuk aktivitas banyak hal," kata anggota Ombudsman Bidang Ekonomi I Dadan Suharmawijaya, Rabu (27/9/2017).
Awalnya, laporan yang diterima Ombudsman, hanya berasal dari pakar hukum perlindungan konsumen, David Tobing. Belakangan, laporan itu bertambah dari lembaga pengabdian masyarakat Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Dadan menuturkan, pelapor beranggapan bahwa transaksi non tunai dapat memberikan nilai positif, yakni mencegah dugaan aktivitas korupsi di jalan tol. Di samping itu, kebijakan non tunai juga dianggap mampu memangkas waktu transaksi.
"Yang jadi problem di biaya top up. Biaya top up ini jadi ribut karena mau diberlakukan serentak. Padahal, ada juga masyarakat kita yang terpaksa pakai non tunai," kata dia.
Ombudsman juga akan mendalami kemungkinan terjadinya indikasi maladministrasi di dalam rencana penerapan biaya top up. Tak hanya dari aspek legal formal, tinjauan juga akan dilakukan dari sisi sosiologis.
"Kalau memang tidak ada kebijakan afirmatif, maka tidak seluruh untuk masyarakat Indonesia, tetapi bagi mayoritas. Padahal, dalam kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi rasa keadilan semua masyarakat termasuk minoritas," pungkas Dadan.
https://properti.kompas.com/read/2017/09/27/220000821/ombudsman-dalami-biaya-top-up-kartu-elektronik-tol