Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Tetanggaku, Tetanggamu

Kompas.com - 16/05/2017, 09:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

TETANGGA itu adalah sebuah kata yang penuh arti. Dalam sebuah lingkungan kota, dia berstatus tetangga saya. Predikat saya pun sama, tetangga dia.

Tilik pengalaman saya bertetangga.

Ketika tetangga sebelah saya selama bertahun-tahun meninggalkan konstruksi rumah setengah jadi tepat menempel di pagar rumah saya, apa yang harus saya lakukan sebagai tetangga?

Tetanggaku sulit dihubungi karena entah di mana. Lalu, siapa yang harus membabat rumput liar yang mulai menjadi sarang nyamuk itu?

Ketika ada kulit-kulit kering bersisik bertebaran tanda ada kehidupan ular di situ, siapa yang paling panik? Dan ketika angin meniup puing-puing sebelah bertebaran ke rumah lain, apa yang harus saya lakukan sebagai tetangga?

Kehidupan bertetangga mungkin adalah salah satu fitur kehidupan perkotaan yang paling melekat pada manusia. Sebagai makhluk sosial, tetangga adalah keniscayaan.

Maka dalam konteks cerita di rumah saya di atas, sayalah yang harus membersihkan ular, memotong sarang nyamuk, menjaga keamanannya. Apakah saya rela, atau pamrih? Perlu bertanya pada rumput yang bergoyang.... seperti kata Ebiet.

Dalam konteks Nusantara, tetangga pun memiliki fungsi hakiki dan strategis di setiap warga negara.

Banyak perihal kemanusiaan terjadi dalam level tetangga (neighborhood). Dari mulai interaksi remaja yang menghasilkan persemaian cinta monyet, sampai berjodoh membangun keluarga.

Dari perkelahian antarlorong, petualangan malam di lokasi layar tancap misbar (gerimis bubar), sampai perselingkuhan di taman sebelah yang lebih hijau rumputnya.

Ruang-ruang privat pun kadang bercampur dengan ruang publik. Penyerobotan ruang pribadi kerap menjadi biang keladi ketidakrukunan.

Pada saat bersamaan, banyak pula potensi kebersamaan terjalin kuat, menghadapi tantangan keamanan, keteraturan, dan siskamling alias begadang bersama tetangga sebelah.

Maka, ruang-ruang kota kita pun niscaya akan nyaman dan berskala manusia, ketika kehidupan bertetangga menjadi basis jalinan interaksi publik.

Lalu, apa masalah kita sehingga akhir-akhir ini banyak di antara kita, baik "laskar" ibu-ibu, anak bau kencur, bapak-bapak pimpinan agama, menjadi baper (bawa perasaan) menghadapi pemilihan kepala daerah sebuah kota?

Mungkin karena kita suudzon atau berburuk sangka, dan selalu melihat rumput tetangga terlalu hijau bagi standar kita. Atau ketidakrelaan melihat kemajuan sepihak di sebelah.

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau