JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, kawasan lainnya yang masuk dalam rencana penggusuran demi normalisasi dan pembangunan sodetan Kali Ciliwung, adalah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, dan Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur.
Lahan yang terkena gusuran memang tidak bisa diperjualbelikan, karenanya, menurut Wakil Ketua Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (Arebi) Lukito Pranowo, tidak masuk dalam pasar. Lahan yang digunakan warga, khususnya di bantaran kali, tidak memiliki sertifikat.
"Kita tidak bisa jual-beli kalau tidak ada surat (sertifikat tanah). Kita juga tidak bisa sebut (bantaran kali) harga pasar," ujar Lukito, Jumat (21/8/2015).
Lukito menambahkan, lahan di bantaran kali tersebut merupakan tanah negara yang tidak bisa dibuatkan sertifikat atas nama individu. Terlebih, pemerintah telah menetapkan garis sempadan atau garis batas luar pengaman yang ditetapkan untuk mendirikan bangunan sejajar dengan tepi sungai.
Garis ini, kata Lukito harus ditaati karena diciptakan untuk menjamin kelestarian dan fungsi sungai. Garis ini juga menjaga masyarakat dari bahaya bencana di sekitar sungai, seperti banjir dan longsor.
Menurut Prinsipal Li Realty, Ali Hanafia, harga pasar lahan di sekitar kawasan yang bakal digusur macam Bukit Duri, dan Bidaracina tersebut serentang Rp 2 juta hingga Rp 5 juta per meter persegi. Tak jauh beda dengan harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP).
Ketua RT 07/14, Kelurahan Bidaracina, M Yusuf, mengungkapkan harga NJOP lahan di Bidaracina memang sekitar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per meter persegi.
Meski demikian, kata Ali, harga pasar lahan satu kavling tanah dalam satu kawasan bisa berbeda-beda. Tergantung fungsi, dan peruntukannya. Akan tetapi, secara umum harga pasar lahan di Bukit Duri, Bidaracina, atau Kampung Pulo dan kawasan lain di Jakarta Timur memang jauh lebih rendah ketimbang kawasan lain di Jakarta Utara, Pusat, Selatan, dan Barat.
"Pasalnya, penataan kotanya tidak rapi, aksesibilitasnya terbatas, dan konektivitasnya tidak tersambung langsung dengan pusat bisnis Jakarta yang notabene ada di Jakarta Pusat, dan Selatan," tutur Ali, Jumat (28/8/2015).
Padahal, kata Ali, para pengembang properti ikut berkontribusi terhadap perubahan wajah, dan pembangunan Jakarta. Wajar, jika kemudian perkembangan Jakarta Timur sangat jauh tertinggal di belakang.
Saat itu, harga lahan di Jakarta Utara dan Jakarta Selatan meroket ke angka Rp 70 juta hingga Rp 100 juta per meter persegi. Demikian halnya dengan Jakarta Barat yang tumbuh mengikuti setahun berikutnya pada 2014 menjadi Rp 35 juta hingga Rp 50 juta per meter persegi.
"Sedangkan Jakarta Timur yang saya amati baru naik tahun ini saat kondisi ekonomi sedang lesu. Namun, justru sedang lesu inilah saat yang tepat berburu lahan di Jakarta Timur, karena harganya murah tapi potensi untuk tumbuh, ada," papar Ali.
Saksikan video Tim Kompas.com yang memotret aktivitas warga Bidaracina: