"Kalau buat saya sih tidak ada cerita. Kita tidak usah salahkan yang sudah terjadi. Tapi ke depan, begitu rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) sudah kita keluarkan persetujuan substansinya, maka kita kasih batas waktu 6 bulan harus sudah di perda-kan," ujar Ferry kepada Kompas.com, Jumat (21/8/2015).
Ferry menjelaskan, proses membuat Perda adalah saat pemerintah daerah mengajukan RDTR, Kementerian ATR/BPN akan memeriksa apakah ada yang perlu diperbaiki. Setelah itu, Kementerian akan mengeluarkan persetujuan substansi. Kemudian, Pemda yang mengajukan akan menuangkannya dalam Perda.
Selama ini, kata Ferry, kepala daerah sering menyiasati RDTR yang sudah disetujui. Saat persetujuan substansi sudah diberikan, Pemda tidak menuangkannya dalam perda. "Selama ini, mainannya seperti itu. Sudah dikeluarkan (persetujuan), tidak kunjung diwujudkan dalam Perda. Sehingga ketika ada penyimpangan tidak disebut melanggar Perda, karena belum ada perda-nya," kata Ferry.
Ferry mengatakan, akan meninjau lebih lanjut tata ruang yang sudah dilegalisasi supaya terikat. Kalau Pemda tidak mengeluarkan Perda, maka akan otomatis mengiktui garis substansi.
Hal ini menurut Ferry tidak sulit, karena BPN memiliki wewenang untuk mengeluarkan izin, antara lain hak guna usaha dan hak guna bangunan. Ferry akan mengecek bangunan atau perumahan yang akan dikeluarkan izinnya sudah sesuai dengan perda atau tidak. Jika memang ada perdanya, Ferry akan melanjutkan mengecek wujud fisiknya.
"Jangan-jangan hanya ada nomornya, tapi tidak ada perdanya. Kita periksa pasal yang mengatur pembagian kawasan. Kalau tidak ada pasalnya mengatur kawasan, saya tunda izinnya," tandas dia.