Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kualitas Hidup di Tangsel Semakin Menurun

Kompas.com - 04/08/2015, 10:33 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Kualitas hidup, dan kelayakan huni (livability) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, semakin hari kian menurun.

Hal ini ditandai dengan semakin menyusutnya ruang terbuka hijau (RTH) akibat konversi besar-besaran menjadi bangunan beton, waktu tempuh perjalanan kian lama karena kemacetan tak terkendali, dan terputusnya konektivitas dengan wilayah lain.

Tak hanya itu. Menjamurnya fasilitas gaya hidup konsumtif macam pusat belanja, belum tersedianya fasilitas ramah anak dan warga lanjut usia (lansia), serta perbaikan infrastruktur dasar macam jalan dan drainase yang dilakukan tambal sulam ikut memperparah kondisi Tangsel semakin tidak layak huni. 

CEO Opal Communications, Kokok Herdhianto Dirgantoro, dan Warga Jalan Siliwangi, Ahmad Matin, mengutarakan pendapat mereka secara terpisah kepada Kompas.com, Senin (3/8/2015).
 
Kokok menjelaskan, selama sepuluh tahun hidup di BSD City dan menjadi warga Tangsel, penurunan kualitas hidup itu sangat terasa. Jika pada 2005 lalu dia masih bisa menghirup udara segar dan menikmati hijaunya taman di setiap sudut kota, kini hanya menyisakan kegersangan dan hawa panas.

"Taman-taman itu telah berubah menjadi ruko, rumah, bahkan perkantoran. Hak kami sebagai warga untuk menikmati kehijauan alam diperkosa oleh pemerintah kota yang tidak becus menata kotanya dengan baik," urai Kokok.

Ada banyak pekerjaan besar, lanjut Kokok, yang seharusnya dengan sangat mudah dilakukan pengelola kota.

 
Pekerjaan besar bersifat "enteng" itu adalah mengintegrasikan potensi yang ada dengan kebijakan-kebijakan komprehensif untuk mendorong Tangsel menjadi lebih layak huni, bahkan kota cerdas (smart city).

Kokok menyebut potensi warga Tangsel dengan kualitas pendidikan dan pendapatan lebih tinggi di antara sesama warga penyangga Jakarta lainnya.

 
Menurut dia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tangsel 77,13 dengan masa pendidikan 12 tahun dan melek huruf 98,62 persen. 

"Warga Tangsel itu cerdas-cerdas, kalangan terdidik, apalagi yang tinggal di dalam kompleks perumahan macam BSD City, Alam Sutera, Summarecon Serpong, Bintaro Jaya. Untuk itu, seharusnya pemerintah berperan dan mendorong kami saling bekerja sama menjadikan Tangsel lebih baik," kata Kokok.

Untuk hal sederhana saja, dalam mengantisipasi banjir seperti pembuatan sumur biopori, warga Tangsel melakukan inisiasi dan bergerak sendiri.

 
Demikian halnya dalam menyikapi dinamika kebutuhan akan transportasi, layanan kesehatan, dan pendidikan. 

Warga Tangsel, lanjut Kokok, dipaksa mencari dan menentukan jalannya sendiri. Dia mengatakan, masyarakat mulai bergerak memanfaatkan angkutan publik karena stres menghadapi kemacetan setiap hari yang tak terkendali.

 
Layanan kesehatan pun bisa dinikmati dari fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pihak swasta, seperti juga untuk kebutuhan pendidikan.

"Semua fasilitas yang tersedia secara teratur dengan kualitas baik selama ini disediakan oleh pengembang swasta. Pemerintah Kota Tangsel gagap menghaddapi perkembangan dan pertumbuhan kota yang demikian pesat," imbuh Ahmad.

Gagapnya Pemkot Tangsel, lanjut Ahmad, terlihat dari penanganan dan perbaikan infrastruktur dasar macam jalan, jembatan, dan drainase.

 
Meskipun ada sebagai jalan yang merupakan ranah Provinsi Banten, namun karena Pemkot Tangsel yang punya wilayah seharusnya dibangun koordinasi, integrasi dan sinkronisasi.

"Yang ada malah saling menyalahkan. Akibatnya, nyaris seluruh ruas jalan di wilayah kota Tangsel diperlakukan secara tambal sulam. Jalan diperbaiki tapi drainase dibiarkan. Alhasil ya rusak lagi," cetus Ahmad.

Jauh dari cerdas

Kokok maupun Ahmad sepakat, jika kota Tangsel dikelola secara "tambal sulam" seperti saat ini, pertumbuhan kota akan disetir sepenuhnya oleh pemilik modal.

 
Gejala itu sudah sangat kentara saat para pengembang besar berlomba merambah wilayah Tangsel yang awalnya masih berupa sawah produktif, maupun zona hijau.

"Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) sangat mudah direvisi dalam hitungan bulan. Revisi ini yang kemudian menghasilkan tata kota yang amburadul. Selain itu, pengurusan administrasi kependudukan juga jauh dari kata efektif dan efisien. Kami harus bolak-balik hanya untuk mengurus KTP," tandas Kokok.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau