Menurut riset Cushman & Wakefield Indonesia, penurunan terjadi karena para pembeli memilih untuk menunggu kepastian kondisi ekonomi, sebelum mereka membeli unit apartemen. Kondisi ekonomi, sebagaimana diketahui, tidak melebihi 5 persen. Pasar saham juga melorot 6,7 persen pada 4.937 per tanggal 23 Juni 2015. Demikian halnya dengan nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi 2,2 persen menjadi Rp 13.265 per 1 Dollar AS.
Hasilnya, tingkat penjualan apartemen, terutama apartemen esksisting, merosot 0,1 persen menjadi 97,7 persen pada kuartal kedua 2015. Tingkat hunian juga anjlok 3,8 persen menjadi 59,9 persen dibanding kuartal pertama 2015.
Demikian halnya dengan catatan pra-penjualan apartemen mendatang yang terekam hanya 63,7 persen atau bergeser 0,5 persen lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya, dan menyisakan 67.804 unit yang belum terserap pasar.
"Aktivitas pra-penjualan proyek apartemen mendatang tersebut didominasi kelas menengah dan tercatat sekitar 37,5 persen dari total transaksi," tulis Cushman & Wakefield Indonesia.
Untuk metode pembayaran, pembeli dari kalangan bawah memilih fasilitas Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Sementara cara pembelian konsumen kelas menengah, dan atas lebih bervariasi seperti satu sampai tiga tahun cicilan bertahap, KPA, dan juga tunai keras.
Berdasarkan segmen, tingkat pra-penjualan apartemen kelas atas masih paling tinggi dibanding kelas lainnya yakni sebesar 73,7 persen. Disusul apartemen kelas menengah dengan 66,2 persen, kelas menengah-atas 63,8 persen, dan menengah bawah 57,9 persen.
Tingkat penjualan proyek apartemen bersubsidi (rusunami) naik sekitar 0,1 perssen dari 98,5 persen pada kuartal sebelumnya menjadi 98,6 persen, dengan tingkat hunian sebesar 55,9 persen dan tingkat pra-penjualan 77,5 persen.