JAKARTA, KOMPAS.com — Mudah untuk mengakui bahwa Batam, Kepulauan Riau, terkini demikian tertinggal dibanding jirannya, Johor, apalagi Singapura. Konsep pengembangan segitiga emas Sijori (Singapura-Johor-Riau) yang dulu digadang-gadang bakal menjadi stimulan utama pertumbuhan kawasan pada kenyataannya berjalan timpang.
Singapura dengan hegemoninya sebagai salah satu kekuatan utama bisnis dan keuangan dunia mencuat sendirian tak tertandingi. Sementara itu, Johor dengan motornya kawasan ekonomi khusus (KEK) Iskandar Malaysia di belahan selatannya mulai mengejar dengan sederet prestasi dan kemajuan mengagumkan.
Bagaimana dengan Batam? Di mata Ketua Umum Ikatan Perencanaan Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, Batam tertatih-tatih dan gagap mengantisipasi perkembangan aktual, baik dari sisi geopolitik maupun ekonomi.
Indonesia tak harus membahas Singapura yang sudah maju dengan daya kompetisi tinggi. Bernardus menyarankan Indonesia untuk memandang Johor, terutama kawasan Iskandar.
Menurut dia, semenanjung selatan Malaysia ini mampu mentransformasi kompetisi yang keras menjadi sesuatu yang worthable. Meskipun sebelumnya Malaysia dan Singapura memang punya sejarah kompetisi yang keras, terutama di segmen politik, sekarang mereka saling bersinergi.
"Wajah Iskandar sekarang adalah potret kemampuan Malaysia dan para stakeholder-nya untuk memikirkan aspek politik dan komersial sama baiknya sehingga rencana induk yang dibuat bisa memanfaatkan kompetisi dengan baik," tutur Bernardus usai acara CNBC Managing Asia kepada Kompas.com, Kamis (11/6/2015).
Sementara itu, Batam sudah kehilangan momentum untuk berhasil pada misi awalmya. Jadi, sekaranglah saatnya bagi Batam untuk meelakukan reposisi dan spesialisasi. Bernardus mengusulkan, jadikan Batam sebagai kawasan ekonomi khusus untuk sektor pariwisata dan kuliner.
Batam punya sumber daya alam (SDA) lebih besar dibanding Singapura ataupun Iskandar. Kawasan ini bisa menjadi hub kuliner, pendidikan, jasa, dan lain-lain. Pasalnya tenaga pekerja juga tak kalah melimpah. Ini harus difokuskan.
Hanya, tambah Bernardus, tantangan terbesar Batam ada pada dualisme kepemimpinan, yakni Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam atau disingkat BP Batam, dan Pemerintah Kota Batam.
"Dualisme ini sesuatu yang konyol. Harus dihilangkan, dan salah satunya harus punya visi menjalankan pengembangan kawasan dan komersial secara spesifik dengan baik," kata Bernardus.
BP Batam, kata dia, harusnya dijadikan sebagai otoritas komersial semacam Iskandar Regional Development Authority (IRDA). Iskandar Malaysia adalah keberhasilan negeri tetangga yang mampu menerjemahkan politik menjadi daya saing yang tinggi.
Iskandar Malaysia awalnya dirancang sebagai wilayah ekonomi khusus yang berdaya saing tinggi. Dengan tantangan 650 juta populasi di kawasan Asia Tenggara, Iskandar tak hanya berkembang melayani Malaysia an sich, tetapi seluruh kawasan.
"Indonesia dengan Batamnya perlu meletakkan dirinya sama dalam membangun Sijori. Jangan hanya ke dalam, tetapi juga menatap regional," ujar Chief Executive IRDA Datuk Ismail Ibrahim.
Batam sebagai satu kepulauan yang mempunyai banyak peluang untuk berdaya saing secara ekonomi perlu ditinjau aspek perancanaan bisnisnya dan berperan aktif secara politik dan ekonomi.
Dengan strategi demikian, lanjut Ismail, Iskandar Malaysia mampu meraup komitmen investasi secara kumulatif senilai 166 miliar ringgit sejak 2006 hingga kuartal pertama 2015. Targetnya, sampai 2025, komitmen investasi senilai 383 miliar ringgit.