Dari total satu juta rumah, sebanyak 603.000 diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sementara saat pencanangan nanti, hanya sejumlah 103.000 unit rumah akan didirikan sebagai tanda program tersebut mulai berjalan. Sisanya, akan dikembangkan secara bertahap.
Realisasi pembangunan ini sangat bergantung pada stakeholder karena banyak yang tidak bisa diintervensi pemerintah. Pemerintah hanya bisa mengupayakan di bidang regulasi dan APBN atau pembiayaan. Sementara pelakunya, yaitu pengembang dan kosumen perlu dilakukan pendekatan persuasif.
Kendati "gong" pembangunan satu juta rumah dilakukan besok, namun berbagai kalangan praktisi pengembang atau stakeholder lain justru meragukan kemampuan pemerintah dan keberhasilan program ini.
Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan, mengatakan secara tegas bahwa program pembangunan satu juta rumah tersebut pasti tidak akan berjalan sesuai ekspektasi.
Menurut dia, masih banyak kendala yang mengadang, dan belum ada solusi komprehensif. Kendala-kendala tersebut antara lain, tidak seragamnya harga material bangunan di seluruh kota dan provinsi Indonesia, patokan harga rumah yang tidak layak atau feasible, dan minimnya insentif bagi pelaku praktisi, dan bank penyalur kredit.
"Padahal, jika semua unsur itu terpenuhi, dan dijalankan, maka yang diidamkan MBR untuk mendapatkan rumah yang benar-benar murah dan sama harganya di seluruh Indonesia akan dapat tercapai," tandas Tanto.
Hanya, kenyataannya sangat berbeda. Tidak ada ketentuan bahwa harga bahan bangunan di seluruh Indonesia sama. Terlebih ada biaya pengiriman material bangunan ke daerah, dan itu sangat mahal. Bayangkan, membangun rumah di daerah dengan menggunakan semen, cat, besi, dan lain-lain pasti lebih mahal dibanding di kawasan Jadebotabek.
Hal ini diakui Ketua DPD REI Khusus Batam, Djaja Roeslim. Menurut dia, jika segala perangkat atau "infrastruktur" pengembangan satu juta rumah rakyat ini tidak disiapkan secara matang, maka nasibnya akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Target tidak bakalan tercapai. Harga pasir saja di Batam saat ini jauh lebih mahal dengan harga pasir di Singapura. Padahal pasir di Singapura dikirim dari Batam. Saat ini harga pasir sekitar 20 dollar Singapura per meter kubik, sementara harga semen per 1 zak ukuran 40 kilogram sekitar Rp 60.000-Rp 70.000," tutur Djaja.
Kendala lainnya adalah, pemerintah tidak memiliki bank tanah murah yang justru sangat diperlukan. Selama ini, kata Djaja, pemerintah hanya mengandalkan aset pemerintah daerah (pemda) untuk dimanfaatkan pengembangan rumah murah.
"Selain itu, kemampuan Perum Perumnas sebagai BUMN penyedia perumahan rakyat belum diberdayakan secara maksimal. Bagaimana mau tercapai target sejuta rumah jika badan khusus perumahannya saja malah jualan properti komersial," imbuh Djaja.
Belum lagi, imbuh Djaja, harga patokan yang tidak sesuai dengan harga produksi. Di Batam, harga patokan rumah murah ini Rp 115 juta, mempertimbangkan kenaikan material bangunan 20 persen sampai 30 persen, seharusnya harga berubah jadi Rp 125 juta per unit.
Insentif
Untuk mengatasi semua kendala tersebut, tambah Tanto, pemerintah mau tidak mau harus menekan penyuplai material bangunan agar menggunakan one price policy yaitu kebijakan harga yang sama di seluruh Indonesia. Artinya, penyuplailah yang menanggung biaya pengiriman ke seluruh Indonesia sebagai wujud dari tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR), khususnya dalam upaya menyukseskan program satu juta rumah.
"Di sisi pembiayaan, Bank Indonesia (BI) juga harus pro aktif dengan meminta bank penyalur kredit menyediakan kredit murah untuk konstruksi satu juta rumah rakyat. Bagi bank yang melakukan itu harus diberikan insentif oleh BI sehingga program ini sangat menarik," urai Tanto.
Sementara untuk penyuplai material bangunan, pemerintah bisa membebaskan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas material bangunan untuk rumah murah. Ini juga berlaku sampai ke hulu, dalam arti bahan baku yang digunakan untuk membuat material bangunan tersebut juga dibebaskan dari pengenaan PPN.
Sedangkan buat pengembang, insentif sudah dituangkan dalam ketentuan keharusan membangun berdasarkan skema 1:2:3. Bagi pengembang yang tidak mau membangun bagian 3 harus memberikan subsidi kepada pengembang yang bersedia, dan ini diatur oleh pemerintah.
"Jadi, tidak seperti sekarang, masing-masing pemerintah daerah (pemda) memberlakukan aturan masing-masing atau bahkan tidak ada aturannya," pungkas Tanto.