Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Gemerlapnya Hongkong, Terdapat Permukiman Kumuh dan Penduduk Ilegal

Kompas.com - 13/01/2015, 14:29 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

Sumber CNN

KOMPAS.com - Tahun lalu, Majalah Forbes mencatat 45 miliarder di Hongkong dengan kekayaan gabungan sebesar 214 miliar dollar AS (Rp 2.704 triliun) atau hampir 80 persen dari PDB Hongkong pada tahun 2013.

Ironisnya, ternyata ada 400.000 rumah tangga Hongkong yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka berpendapatan hanya 14.300 dolar Hongkong atau Rp 23 juta untuk menghidupi empat anggota keluarga.

Dengan penghasilan sebesar itu, tentu saja mereka tidak mampu membeli rumah yang harganya selangit dan terpaksa hidup di bedeng-bedeng liar. Sebuah survei yang diterbitkan pada awal 2014 oleh Demographia International Housing Affordability mengungkapkan harga rumah di Hongkong merupakan termahal di duni, dengan angka rerata 4.024.000 dollar Hongkong, atau Rp 6,5 miliar per unit.

Tingginya harga properti tersebut menandakan ekonomi yang berkembang dan pekerjaan konstruksi telah meningkat untuk memenuhi permintaan perumahan. Mereka menyediakan peningkatan kesempatan kerja bagi orang-orang yang bekerja di sektor ini. Namun, ternyata sedikit sekali uang yang dihasilkan dari konstruksi menetes ke dalam kantong para pekerjanya.

Fung (bukan nama sebenarnya), 59, tinggal di sebuah daerah kumuh dan ilegal di atap suatu gedung. Hunian yang hanya seluas 6 meter persegi itu sudah cukup besar baginya menempatkan tempat tidur, lemari, dan barang-barang berdebu lainnya. Ia menyewa tempat tersebut seharga 1.700 dollar Hongkong atau Rp 2.779.964 per bulan.

Pemerintah setempat telah memberikan surat pemberitahuan penggusuran di pintu depan rumahnya selama sebulan terakhir. Ia diminta untuk pindah. Meski begitu, dengan harga properti yang begitu tinggi, dan ratusan ribu daftar tunggu untuk perumahan rakyat murah, Fung tidak memiliki pilihan tempat lain untuk pergi.

"Saya tidak akan menerima penyelesaian relokasi. Mereka hanya memberi beberapa ribu dollar Hongkong. Di mana saya harus tinggal? Masih jauh lebih murah di sini," kata dia.

Pihak berwenang menawarkan penyelesaian relokasi bagi warga yang tinggal secara ilegal. Bagi Fung, itu terlalu sedikit. Kebanyakan orang yang bernasib sama dengannya, tidak memiliki pendapatan yang stabil untuk tinggal di tempat lain.

Daerah kumuh di atap gedung di Hongkong, merupakan polemik. Hongkong memandang dirinya sebagai "world city" di Asia, karena memiliki menara-menara pencakar langit yang megah. Namun, pada beberapa blok apartemennya penuh sesak dengan penambahan hunian ilegal.

Pembersihan

Sejak tahun 1950-an dan 1960-an tanpa persetujuan pemerintah, sejumlah orang miskin tinggal di atap gedung. Lembaran logam bergelombang kasar menutupi gubuk berdinding beton. Pemilik gedung telah menyediakan akomodasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah seperti pendatang dari daratan Tiongkok dan Asia Tenggara selama lebih dari setengah abad.

Menurut angka terbaru dari Departemen Sensus dan Statistik Hongkong, ada 3.747 penduduk yang tinggal di atap rumah milik 1.588 keluarga pada tahun 2011. Ini adalah penurunan dramatis dari tahun 2001 ketika lebih dari 16.000 orang tinggal secara ilegal di daerah kumuh "langit-langit" tersebut.

Penurunan tersebut menandai tren di mana bangunan rumah petak dirobohkan untuk membuka jalan untuk belanja baru dan perkembangan perumahan.

Keterbatasan tempat

Fung bekerja di sektor konstruksi dan menghasilkan sekitar 8.000 dollar Hongkong atau Rp 13 juta per bulan. Jumlah ini hampir tidak cukup bagi Fung untuk mengurus putrinya yang berusia 10 tahun dan menutupi sewa.

Ia tinggal di salah satu daerah termiskin dan paling padat penduduknya, yaitu Kwun Tong. Di sini terdapat 57.120 orang tinggal per kilometer persegi.

Di atas sebuah bangunan industri, Fung dan sekitar 40 warga lainnya menerangi jalan setapak yang gelap. Kadang-kadang diterangi oleh bola lampu yang menggantung, atau mengandalakan cahaya telepon pintar.

"Saya dulu memiliki properti di Shenzhen, tapi saya pindah kembali ke Hongkong empat tahun lalu supaya putri saya mendapatkan pendidikan lebih baik," kata Fung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau