KOMPAS.com - Saat New York, San Fransisco, dan kota-kota pesisir lainnya dilanda krisis perumahan, Chicago mengalami masalah lain, yaitu kejahatan kekerasan, anak-anak putus sekolah, dan korupsi politik. Meski begitu, semakin dekat ke pelaksanaan pemilu, Wali Kota Chicago Rahm Emanuel menggunakan profil perumahan yang terjangkau sebagai isu kampanye.
Pekan ini, Emanuel menyatakan dukungan untuk usulan amandemen utama hukum zonasi inklusi kota yang disebut Affordable Requirements Ordinance (ARO) atau Peraturan Persyaratan atas Keterjangkauan. Pada 2003 lalu, ARO mengamanatkan bahwa dari pengembangan properti baru tertentu, pengembang harus menyisihkan 10 persen dari total unit untuk unit terjangkau atau membayar biaya pengganti dana perumahan terjangkau untuk mensubsidi unit di tempat lain.
Hal tersebut mewakili kemenangan besar bagi aktivis perumahan. Meski demikian, satu dekade kemudian banyak masyarakat yang tinggal di perumahan terjangkau mengatakan bahwa peraturan harus diperkuat.
"Ini bukan hanya masalah menambah unit, tetapi di mana lokasi unit-unit ini berada," kata direktur program di Dewan Perencanaan Metropolitan, Marisa Novara.
Menurut Novara, penggantian 100.000 dolar (Rp 1,4 miliar) per unit, dianggap terlalu rendah. Hasilnya, sebagian besar pengembang memilih untuk tidak menyertakan unit terjangkau dalam proyek mereka dan membayar sejumlah uang tersebut.
Hingga saat ini, ARO hanya mampu memproduksi 189 unit selama 20 tahun. Lebih dari 1.600 unit telah tercipta berkat adanya biaya pengganti, namun sebagian besar dari mereka tinggal di lingkungan yang relatif miskin, yaitu di selatan dan barat sisi kota.
Nantinya, jika itu disetujui, peraturan ARO yang baru akan memaksa pengembang untuk menyiapkan 25 persen unit terjangkau dari total unit bangunan. Lingkungan kota akan diklasifikasi pada tiga kategori utama yaitu pusat kota, kota berpenghasilan tinggi, dan kota berpenghasilan menengah ke bawah.
Sementara itu, biaya penggantinya dinaikkan menjadi 175.000 dolar (Rp 2,1 miliar) di pusat kota dan 125.000 dolar (Rp 1,5 miliar) di daerah berpenghasilan tinggi. Pengembang diizinkan untuk memenuhi persyaratan unit yang terjangkau dengan membangun perumahan terjangkau dalam beberapa mil dari lokasi utama. Tujuannya adalah untuk membuat unit terjangkau tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Krisis perumahan
Pemberlakuan ARO yang baru mencerminkan krisis perumahan terjangkau, jauh berbeda dari kota-kota pesisir yang didominasi pada cakupan nasional. Lingkungan, depopulasi, penarikan investasi, dan kejahatan di Chicago, telah membuat nilai perumahan relatif rendah. Sementara itu, masyarakat di sisi utara serta beberapa kawasan di selatan dan barat pusat kota, telah terlihat mengikuti pelonjakan harga sewa.
Dinamika tersebut menyebabkan peningkatan dramatis pada sisi segregasi ekonomi. Untuk diketahui, Chicago tidak memiliki ketentuan pengendalian harga sewa unit perumahan.
"Chicago tidak seperti San Fransisco atau Manhattan. Anda tidak bisa hidup di kota jika Anda tidak kaya. Anda masih bisa tinggal di sini (kota) jika Anda berpenghasilan rendah tetapi hanya bisa hidup di tempat-tempat tertentu," kata Novara.
Artinya, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah harus memilih antara mencoba melakukan pembayaran sewa atau tinggal di lingkungan yang tidak aman. Lingkungan kota yang meningkat ini membuat warga semakin terjepit.
"Pada 1990, satu dari empat warga Chicago membayar lebih dari 30 persen pendapatan mereka untuk perumahan. Hari ini, jumlahnya sudah dua kali lipat," kata Kevin Jackson, anggota advokat Chicago Rehab Network.
Proposal ARO dianggap sebagai solusi alternatif selain sebelumnya terdapat peraturan untuk melindungi para tuna wisma. Para dewan tertinggi pernah memberlakukan ukuran tertentu bagi setiap gedung, untuk dibangun beberapa kamar apartemen yang disebut SRO. Meski kecil, banyak orang berpendapatan rendah setidaknya mendapatkan hunian. Mereka sebagian besar terkonsentrasi di kawasan utara Chicago yang memiliki akses pada transportasi, bahan makanan, dan fasilitas lainnya.
Sayangnya, sejak tahun 1970-an, SRO mulai berkurang seiring penghuninya yang meninggal atau pindah. SRO diambil alih oleh perusahaan pengaman perumahan yang memberlakukan sewa yang tinggi. Saat ini, hanya ada sekitar 6.000 unit SRO.
Peraturan baru kota, bertujuan untuk melestarikan unit-unit yang tersisa. Pemilik SRO yang ingin menjual bangunan tersebut, harus menghabiskan setidaknya 180 hari untuk mencari pembeli yang akan mempertahankan status sewa rendah selama minimal 15 tahun. Meski begitu, pemilik bisa segera menjual unit dengan membayar 20.000 dolar (Rp 248 juta) per unit ke pada dana pelestarian SRO. Setiap pengungsi yang telah tinggal di bangunan tersebut selama setidaknya satu bulan, akan menerima 2.000 (Rp 25 juta juta) sampai 8.600 dolar (Rp 107 juta) dalam bantuan relokasi dari pemilik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.