Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI), Panangian Simanungkalit, para pengembang dan investor memilih utang luar negeri baik ke lembaga keuangan perbankan maupun non-bank, karena lebih murah.
"Sementara dana lokal lebih mahal karena suku bunga tinggi. Dana lokal semakin mahal karena ada inflasi tinggi. Akhirnya pengembang dan investor properti menempuh jalan pintas mencari pendanaan untuk pengembangan dan pembiayaan konsumen properti," papar Panangian kepada Kompas.com, Jumat (5/12/2014).
Dia menuturkan, mengalirnya dana asing yang berasal dari lembaga-lembaga macam British Virgin Island (BVI), dan Cayman Island atau lembaga lainnya yang biasa disebut offshore loan secara kasat mata dapat terlihat dari masifnya pengembangan megaproyek-megaproyek baru senilai triliunan rupiah.
"Selain itu, pengembang juga berani memberikan kemudahan pembiayaan kepada konsumen untuk mencicil produk yang mereka tawarkan dalam periode tertentu tanpa bunga, misalnya selama 1 tahun, 2 tahun, bahkan ada yang berani memberikan 3 tahun. Sementara di sisi lain, BI justru melakukan pengetatan," beber Panangian.
Fenomena banyaknya dana asing beredar di pasar properti Indonesia juga diakui Komisaris Hanson Land Group, Tanto Kurniawan. Menurut dia, sudah menjadi rahasia umum para pengembang dan investor properti mencari dana asing.
"Dana tersebut digunakan untuk membiayai proyek dengan kebutuhan investasi tinggi dan jangka panjang," kata Tanto.
Meskipun banyak pengembang yang melakukan offshore loan, tambah Panangian, namun tidak akan mengguncang perekonomian negara. Pasalnya, utang luar negeri swasta untuk membiayai sektor properti masih sangat kecil. Porsi terbesar masih dikuasai sektor pertambangan, keuangan, dan industri pengolahan.
Menurut data yang dilansir BI, dari total 292,3 miliar dollar AS atau Rp 3.593 triliun utang luar negeri per September 2014, utang swasta sebesar 159,3 miliar dollar AS (Rp 1.959 triliun) atau 54,5 persen. Sektor keuangan 46,6 miliar dollar AS (Rp 573 triliun), industri pengolahan 32,5 miliar dollar AS (Rp 399,7 triliun), dan pertambangan 25,8 miliar dollar AS (Rp 317,2 triliun).
"Sektor properti kecil sekali dalam neraca utang luar negeri kita. Sama halnya dengan porsi kredit di perbankan Nasional. Jadi, masih dalam koridor aman dan belum perlu diwaspadai. Apalagi sektor properti risikonya lebih rendah ketimbang sektor lain karena selalu melibatkan konsumen," tandas Panangian.
Porsi kredit properti, kata dia, masih minoritas terhadap total kredit secara umum. Panangian kemudian mengutip data BI, bahwa dari total kredit Nasional senilai Rp 3.558 triliun, kredit properti tak sampai 15 persen, yakni hanya Rp 526,5 triliun.
"Tidak akan mengguncang ekonomi Nasional. Jadi, sah-sah saja bagi pengembang dan investor properti mencari dana murah di mancanegara," ucap Panangian.
Lagipula, tambah dia, BI memandang perkembangan utang luar negeri masih cukup sehat. BI tidak akan membiarkan utang luar negeri kebablasan dan melampaui risiko kepatutan.
"Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia No. 16/20/PBI/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi non-bank, BI telah menekan risiko itu. Sehingga utang luar negeri diharapkan dapat lebih berperan secara optimal dalam mendukung pembiayaan pembangunan tanpa menimbulkan risiko stabilitas makroekonomi ke depan," tutup Panangian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.