Tak hanya itu. Untuk kawasan-kawasan favorit, pertumbuhannya bisa menembus angka hingga 50 persen sampai 100 persen. Sebaliknya di London, harga properti sudah demikian tinggi sehingga peluang pertumbuhan harga pun tipis.
CEO PT Jaya Properti Indonesia, Amrit Lakhiani, mengungkapkan perbandingan kondisi pasar properti di Jakarta dan London, terkait rencana ekspansi bisnis perusahaannya kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2014). Dia menuturkan, meski menawarkan keuntungan tipis, tetapi London jauh lebih rapi dan profesional, baik dalam hal perizinan satu atap yang mudah dan ramah investasi maupun kualitas pengerjaan konstruksi.
Di Jakarta, dan Indonesia umumnya, menurut Amrit, terlalu banyak area "abu-abu" (grey area). Contohnya saat dia mengajukan izin membangun Win del Rio. Diharapkan selesai hanya dalam empat bulan, izin proyek itu justru molor hingga 13 bulan.
"Selain itu, di London, kita belajar membangun dengan cara lebih efisien dan efektif. Satu desk pekerjaan bisa dilakukan oleh hanya empat orang. Bandingkan dengan Jakarta, untuk mengerjakan satu desk saja butuh 10 hingga 15 orang," tuturnya.
Jadi, kata Amrit, jika saja perizinan lebih tertib dan bangunan lebih berkualitas, pasar properti Indonesia akan tumbuh lebih pesat lagi. Bahkan, Indonesia bisa menjadi destinasi utama investasi global.
"Itu yang harus diperbaiki. Selebihnya, Indonesia punya potensi lebih besar ketimbang London, atau Mumbai di India. Jumlah pengembang Indonesia masih sedikit, sementara kebutuhan tinggi. Terlebih kebutuhan yang berasal dari kelas menengah dengan daya beli tinggi yang belum terpenuhi," tandas Amrit.
Tidak "bubble"
Hal senada dikatakan Partner Residential Services Coldwell Banker Indonesia, Fransiska Hendri. Menurut dia, secara demografi kelas menengah Indonesia jauh lebih banyak. Hal tersebut menjadi peluang besar bagi pengembang untuk membangun hunian-hunian representatif sesuai daya belinya.
"Hal lain yang menarik adalah, di Indonesia tidak akan terjadi bubble atau gelembung properti, karena yang terjadi sekarang adalah transformasi pembeli dari investor ke real buyer. Jadi, yang tengah berlangsung saat ini adalah kebutuhan nyata (real demand)," papar Fransiska.
Hal itu sangat berbeda dengan pasar properti di Dubai atau Tiongkok yang dikuasai oleh investor. Dengan demikian, pertumbuhan harga terjadi tidak secara alamiah karena tidak berangkat dari kebutuhan nyata.
Dia menambahkan, dalam kurun 2009-2013 komposisi investor di pasar properti Indonesia lebih dari 60 persen, saat ini justru pengguna akhir (end user) lebih banyak, yakni di atas 55 persen. Hal ini menepis kemungkinan harga properti turun.
"Selain itu, porsi KPR pun masih terhitung sedikit terhadap total kredit perbankan Indonesia. Jadi pasar properti kita masih aman," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.