Lonjakan harga justru terjadi karena terbatasnya pasokan. Di sisi lain, kebutuhan sangat tinggi, terutama di kawasan-kawasan dengan konsentrasi aktivitas bisnis dan komersial tinggi.
Demikian rangkuman pendapat dari para pengembang, CEO Ciputra Group Candra Ciputra, Direktur Marketing PT Alam Sutera Realty Tbk Lilia Sukotjo, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Johannes Mardjuki, dan Direktur Utama Majestic Land Wisnu Tri Anggoro, dalam berbagai kesempatan kepada Kompas.com.
Menurut Candra Ciputra, ada dua hal yang menjadi motivasi bagi konsumen untuk membeli properti. Pertama, membeli untuk digunakan sendiri (end user). Kedua, membeli untuk dijadikan sebagai instrumen investasi (investor).
"Kita tidak bisa menafikan kehadiran keduanya. Bisnis dan industri properti terus bertumbuh karena mereka. Nah, saat kondisi perekonomian kita tumbuh positif, pendapatan pun meningkat, yang pada gilirannya berpengaruh pada penguatan daya beli. Mereka yang tadinya hanya punya satu rumah pun akan tertarik untuk membeli rumah kedua, ketiga, dan seterusnya untuk anak, cucu, keluarga, dan juga aset simpanan," papar Candra, Rabu (19/11/2014).
Pembeli dengan motif investasi pun, lanjut Candra, akan memilih properti secara selektif. Terlebih lagi, Bank Indonesia kini mengetatkan peraturan kredit properti. Mereka tidak bisa seenaknya memborong satu lantai atau satu gedung apartemen.
"Seleksi ketat juga kami terapkan kepada pembeli dengan motif investasi. Contohnya untuk apartemen My Home di Ciputra World 1 Jakarta. Kami memberlakukan syarat-syarat tertentu untuk mereka penuhi agar pertumbuhan harga My Home terjadi secara natural sehingga menguntungkan pembeli," tutur Candra.
Sementara itu, menurut Lilia Sukotjo, produk properti yang mengalami kenaikan harga signifikan adalah yang memenuhi beberapa syarat terciptanya kualitas hidup dan lingkungan. Produk properti ini antara lain berada di kawasan dengan pengembangan berkelanjutan, bangunan berkualitas, lokasi strategis, dan potensi investasi tinggi.
"Pada dasarnya, kenaikan harga properti itu terukur, tidak melulu hanya disebabkan oleh kenaikan BBM, tetapi faktor-faktor inheren, mulai dari konsep pengembangan, diferensiasi, hingga tataran implementasi. Alam Sutera memenuhi semua unsur itu, dan hingga saat ini terus menciptakan kenaikan harga," beber Lilia.
Pembelian dibatasi
Hal senada dikemukakan Johannes Mardjuki. Menurut dia, konsep properti yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasar punya peluang membuat harganya terus mendaki. Contohnya, unit-unit rumah di Summarecon Bekasi.
"Sejak dilansir pada 2008 silam, harganya terus menanjak, hingga mencapai 30 persen per tahun. Tahun ini, meski melambat, pertumbuhan tetap bisa mencetak kenaikan 20 persen. Kami mengembangkan konsep yang tepat, pada waktu yang tepat, dan juga pasar yang tepat," tandas Johannes.
Selain itu, dia menambahkan, mekanisme pembatasan pembelian juga diberlakukan. Satu konsumen hanya boleh membeli maksimal dua properti. Hal ini dilakukan untuk menjaga "ritme" nilai properti tetap tinggi, baik di pasar primer, maupun pasar sekunder. Dengan demikian, pembeli awal dan berikutnya bisa menikmati keuntungan secara proporsional.
Demikian halnya dengan Lippo Karawaci. Menurut Direktur PT Lippo Karawaci Joppy Rusli, produk yang tepat dengan kualitas dan konsep yang dibutuhkan pasar saat ini masih terbatas, tidak seimbang dengan tingkat kebutuhan yang terus bertumbuh, terutama di segmen kelas menengah dan menengah atas.
"Seratus juta kelas menengah Indonesia dengan pendapatan yang terus meningkat belum bisa diakomodasi oleh hanya ribuan hunian yang mampu kami kembangkan. Belum lagi backlog hunian yang mencapai 15 juta unit," ujar Joppy.