Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Lonjakan Harga Properti Bukan karena Kenaikan Harga BBM"

Kompas.com - 20/11/2014, 15:19 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pertumbuhan harga properti yang terus terjadi dan sempat menembus level 30 persen hingga 40 persen pada kurun 2012-2013, sehingga sering dianggap tak masuk akal, menurut beberapa pengembang, bukan disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Lonjakan harga justru terjadi karena terbatasnya pasokan. Di sisi lain, kebutuhan sangat tinggi, terutama di kawasan-kawasan dengan konsentrasi aktivitas bisnis dan komersial tinggi.

Demikian rangkuman pendapat dari para pengembang, CEO Ciputra Group Candra Ciputra, Direktur Marketing PT Alam Sutera Realty Tbk Lilia Sukotjo, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk Johannes Mardjuki, dan Direktur Utama Majestic Land Wisnu Tri Anggoro, dalam berbagai kesempatan kepada Kompas.com.

Menurut Candra Ciputra, ada dua hal yang menjadi motivasi bagi konsumen untuk membeli properti. Pertama, membeli untuk digunakan sendiri (end user). Kedua, membeli untuk dijadikan sebagai instrumen investasi (investor).

"Kita tidak bisa menafikan kehadiran keduanya. Bisnis dan industri properti terus bertumbuh karena mereka. Nah, saat kondisi perekonomian kita tumbuh positif, pendapatan pun meningkat, yang pada gilirannya berpengaruh pada penguatan daya beli. Mereka yang tadinya hanya punya satu rumah pun akan tertarik untuk membeli rumah kedua, ketiga, dan seterusnya untuk anak, cucu, keluarga, dan juga aset simpanan," papar Candra, Rabu (19/11/2014).

Pembeli dengan motif investasi pun, lanjut Candra, akan memilih properti secara selektif. Terlebih lagi, Bank Indonesia kini mengetatkan peraturan kredit properti. Mereka tidak bisa seenaknya memborong satu lantai atau satu gedung apartemen.

"Seleksi ketat juga kami terapkan kepada pembeli dengan motif investasi. Contohnya untuk apartemen My Home di Ciputra World 1 Jakarta. Kami memberlakukan syarat-syarat tertentu untuk mereka penuhi agar pertumbuhan harga My Home terjadi secara natural sehingga menguntungkan pembeli," tutur Candra.

Sementara itu, menurut Lilia Sukotjo, produk properti yang mengalami kenaikan harga signifikan adalah yang memenuhi beberapa syarat terciptanya kualitas hidup dan lingkungan. Produk properti ini antara lain berada di kawasan dengan pengembangan berkelanjutan, bangunan berkualitas, lokasi strategis, dan potensi investasi tinggi.

"Pada dasarnya, kenaikan harga properti itu terukur, tidak melulu hanya disebabkan oleh kenaikan BBM, tetapi faktor-faktor inheren, mulai dari konsep pengembangan, diferensiasi, hingga tataran implementasi. Alam Sutera memenuhi semua unsur itu, dan hingga saat ini terus menciptakan kenaikan harga," beber Lilia.

Pembelian dibatasi

Hal senada dikemukakan Johannes Mardjuki. Menurut dia, konsep properti yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasar punya peluang membuat harganya terus mendaki. Contohnya, unit-unit rumah di Summarecon Bekasi.

"Sejak dilansir pada 2008 silam, harganya terus menanjak, hingga mencapai 30 persen per tahun. Tahun ini, meski melambat, pertumbuhan tetap bisa mencetak kenaikan 20 persen. Kami mengembangkan konsep yang tepat, pada waktu yang tepat, dan juga pasar yang tepat," tandas Johannes.

Selain itu, dia menambahkan, mekanisme pembatasan pembelian juga diberlakukan. Satu konsumen hanya boleh membeli maksimal dua properti. Hal ini dilakukan untuk menjaga "ritme" nilai properti tetap tinggi, baik di pasar primer, maupun pasar sekunder. Dengan demikian, pembeli awal dan berikutnya bisa menikmati keuntungan secara proporsional.

Demikian halnya dengan Lippo Karawaci. Menurut Direktur PT Lippo Karawaci Joppy Rusli, produk yang tepat dengan kualitas dan konsep yang dibutuhkan pasar saat ini masih terbatas, tidak seimbang dengan tingkat kebutuhan yang terus bertumbuh, terutama di segmen kelas menengah dan menengah atas.

"Seratus juta kelas menengah Indonesia dengan pendapatan yang terus meningkat belum bisa diakomodasi oleh hanya ribuan hunian yang mampu kami kembangkan. Belum lagi backlog hunian yang mencapai 15 juta unit," ujar Joppy.

Belum terciptanya ekuilibrium pasar seperti saat ini, kata dia, jelas menstimulasi harga untuk kian melambung. Hal ini terutama di kawasan-kawasan favorit atau kawasan dengan "ekologi kehidupan" yang lengkap, mulai dari fasilitas pendidikan, hiburan, kesehatan, relaksasi, bisnis, hingga komersial.

"Sementara itu, faktor kenaikan BBM sudah kami antisipasi sejak dalam rencana awal pengembangan proyek. Kontraktor sudah kami 'kunci' dengan nilai kontrak tertentu untuk jangka waktu lima tahun. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk mengubah nilai kontrak karena harga material melonjak akibat perubahan harga BBM," tandas Joppy.

Diferensiasi pembiayaan

Sementara itu, Wisnu Tri Anggoro berpendapat. Perbedaan konsep produk, salah satunya terobosan pembiayaan, sangat memengaruhi peningkatan harga jual properti.

"Sekarang properti sudah bukan lagi tentang lokasi, lokasi, dan lokasi, melainkan apa yang bisa kita tawarkan, dan bagaimana kita bisa membuat konsumen tertarik membeli. Tentu harus kita sentuh spot-spot yang tepat dalam tataran logika berpikir konsumen," papar Wisnu.

Dia menuturkan, untuk saat ini, dengan kondisi pengetatan kredit serta suku bunga KPR/KPA dua digit, hal yang paling tepat adalah melakukan terobosan pembiayaan. Uang muka yang bisa dicicil selama periode tertentu tanpa bunga, dengan posisi harga jual tetap alias tidak berubah, sangat diburu konsumen.

"Contohnya produk Majestic Icon Yogyakarta. Harga jual hanya Rp 280 juta per unit. Uang muka bisa dicicil 24 kali dengan bunga nol persen. Sementara itu, posisi harga jual tetap. Sudah barang tentu hal ini sangat menarik dan menguntungkan konsumen. Karena sudah terjual 80 persen, kami memutuskan menaikkannya 10 persen menjadi Rp 310 juta per unit," ucap Wisnu.

Jadi, dia melanjutkan, kenaikan harga BBM tidak memengaruhi pertumbuhan harga properti. Yang sangat berpengaruh adalah bagaimana pengembang mengimplementasikan rencana bisnisnya dengan tetap, sesuai sasaran, dengan kemasan memikat yang berbeda.

"Hal itu berpotensi memicu pertumbuhan harga jual. terlebih jika penawarannya sesuai dengan ekspektasi konsumen," pungkas Wisnu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau