Kondisi aktual tersebut dinilai wajar dan sudah seharusnya terjadi sejak satu dekade silam saat pasar properti Indonesia bangkit dari keterpurukan dan arus investasi deras mengalir. Demikian rangkuman berbagai pendapat dari pengamat dan praktisi properti yang disampaikan kepada Kompas.com, Sabtu (23/8/2014).
Menurut Head of Research JLL, Anton Sitorus, pasar properti di ketiga kota besar tersebut tidak terlalu signifikan perbedaannya jika dilihat dalam perspektif pertumbuhan harga. Bahkan, Makassar mencatat pertumbuhan paling tinggi, yakni 20 hingga 30 persen per tahun.
"Hal itu dimungkinkan karena Makassar relatif terlambat mengenal investasi di sektor properti. Investor dan orang-orang kaya di sana baru familiar dan melek properti dalam lima tahun terakhir. Mereka selama ini memilih menanam uang di bank melalui deposito. Jadi karena baru melek, tawaran pertumbuhan harganya relatif lebih tinggi ketimbang Surabaya dan Medan yang sudah mature," jelas Anton.
Senada dengan Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk., Harun Hajadi. Menurutnya, tidak dimungkiri bahwa Surabaya merupakan pasar properti terbesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Pasarnya terjadi sangat baik, level pengetahuan pembeli atau calon pembeli terhadap produk properti juga cukup tinggi. Sehingga produk-produk baru mudah diterima.
Sementara Medan dan Makassar, kata Harun, menawarkan pertumbuhan yang lebih tinggi ketimbang Surabaya, kendati pangsa pasarnya sama-sama besar. "Medan merupakan kota terbesar di Sumatera, demikian halnya dengan Makassar yang merupakan terbesar di Sulawesi. Saya kira pasar tiga kota tersebut dapat menyerap subsektor apa saja, mulai dari landed residential (perumahan tapak), apartemen, pusat belanja dan hotel," imbuh Harun.
Yang belum memungkinkan, lanjut Harun, adalah perkantoran modern yang masih kurang peminatnya. "Masih mencari-cari bentuk seperti apa yang diterima pasar," kata Harun.
Bahkan, menurut Anton, ketiga kota ini masih butuh waktu lama untuk membentuk pasar perkantoran.
"Kultur bisnis yang mengurat akar selama ini yang membuat pasar perkantoran modern belum diterima dengan baik. Pebisnis, terutama Tionghoa Surabaya, masih lebih nyaman berkantor di ruko atau rumah yang dijadikan kantor. Demikian halnya dengan Makassar dan Medan. Namun bila harus melakukan komparasi, pebisnis Medan lebih terbuka hal-hal baru dan perkantoran modern yang tengah dibangun punya kesempatan besar terserap pasar," terang Anton.
Hasil riset Leads Property Indonesia menguatkan fenomena tersebut. Di subsektor perkantoran, pertumbuhan pasokan di Surabaya, Medan, dan Makassar terhitung stagnan. Hingga kuartal II 2014 tidak ada pasokan baru yang masuk pasar.
"Pertumbuhan pasokan perkantoran di Surabaya terhambat defisit lahan kosong di kawasan central business district. Sementara di Makassar, dan Medan pertumbuhan terhambat oleh pasokan ruko dan rukan yang dianggap lebih terjangkau harganya dan sesuai dengan kultur bisnis. Ke depan, subsektor perkantoran di kedua kota ini belum akan berubah secara signifikan," kata CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono.
Khusus Surabaya, pasokan perkantoran tahun depan akan datang dari proyek Praxis yang dikembangkan PT Intiland Development Tbk. Ada pun harga sewa perkantoran Surabaya sekitar Rp 50 ribu hingga Rp 150 ribu per meter persegi. Sementara di Makassar sekitar Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu per meter persegi.
Permintaan ruang perkantoran berasal dari perusahaan agrikultur, perdagangan, dan asuransi (Medan), perbankan, asuransi, partai politik, dan trading (Surabaya).
Apartemen
Di antara lima subsektor properti, perumahan masih yang terkuat. Baik Anton, Harun, maupun Hendra sepakat mengatakan bahwa landed residential akan terus tumbuh seiring meningkatnya permintaan.