Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengit, Perang Konsep Pusat Belanja di Balikpapan

Kompas.com - 12/05/2014, 17:53 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Tak ada yang meragukan betapa Balikpapan punya potensi yang memaksa para pengembang melakukan ekspansi bisnisnya ke kota terbesar kedua di Kalimantan Timur ini.

Meski dalam segi populasi, hanya berada pada kisaran 678.969 penduduk permanen, namun daya beli dan menghabiskan dana belanja (buying and purchasing power), cukup tinggi. Bahkan, untuk beberapa item, berada di atas rerata purchasing power penduduk Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Contohnya untuk "fashion" dan aksesoris, warga Balikpapan bisa menghabiskan sekitar Rp 1 juta dalam sekali belanja. Sedangkan untuk kuliner, uang yang dibelanjakan serentang Rp 150.000 hingga Rp 400.000.

Wajar saja bila saat ini ada empat pusat belanja skala besar yang sedang dikembangkan. Keempatnya adalah Pentacity Mall di area Balikpapan Superblock kembangan Wulandari Bangun Laksana, The Plaza Balikpapan yang dibesut Agung Podomoro Land (APLN), Supermal Balikpapan milik Salim Group, dan CBD Balikpapan yang dikembangkan Mitra Gemilang Mahakarya (MGM).

Hanya, tidak mudah bagi pengembang untuk menjadi penguasa pasar pusat belanja kota ini. Terlebih saat konstelasi properti sedang dalam siklus retailer's market di mana peritel yang aktif mengembangkan sayap bisnisnya akan diperebutkan oleh pengembang pusat belanja. Mereka memiliki "otoritas" untuk menolak, mengabaikan atau menerima pinangan pengembang mengisi pusat belanjanya.

Oleh karena itu, menurut Associate Director Research & Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Soany Gunawan, strategi jitu dan konsep tepat sangat berpengaruh dan menentukan kesuksesan sebuah pusat belanja. "Pengembang tidak bisa hanya asal comot atau meniru konsep dan genre pusat belanja di Jakarta, misalnya, untuk kemudian membawanya ke kota ini," ujarnya saat paparan Property Market Outlook beberapa waktu lalu.

Pengembang harus kreatif dan melakukan diferensiasi agar kehadiran pusat belanja yang mereka kembangkan menjadi pilihan utama, karena peta perpusatbelanjaan di Balikpapan sudah bergeser. Bukan lagi pada pemenuhan kebutuhan pusat belanja dengan jumlah rasio penduduk, melainkan, bagaimana sebuah pusat belanja menawarkan hal berbeda dan menjadi destinasi belanja.

Untuk itulah, mengapa kemudian para pengembang kemudian mengubah genre,  deoxyribonucleic acid (DNA) dan karakteristik pusat belanja yang mereka kembangkan. Bahkan, MGM Land sampai harus mengubah konsep sebanyak tiga kali.

Center Director CBD Balikpapan, Ihya Nasution, menyadari jika hanya membangun pusat belanja dalam sebuah bangunan masif dengan isi para penyewa fashion apparel, dan sedikit kuliner tanpa ada perbedaan dengan pusat belanja eksisting, bukan tidak mungkin akan terjadi kanibalisme.

"Pasar Balikpapan sangat unik, karena merupakan kota para pendatang. Mereka terbagi atas beberapa kelompok. Meski sama-sama berdaya beli tinggi, belum tentu semua selera serupa. Ada kelompok mapan dengan gaya hidup lurus, ada kalangan muda dengan gaya hidup dinamis, ada juga gabungan keduanya serta kalangan yang tidak hirau perubahan gaya hidup," papar Ihya kepada Kompas.com, Sabtu (10/5/2014).

Non-department store

Untuk mengembangkan pusat belanja berskala besar dengan menumpukkan kekuatan hanya pada penyewa besar department store, tambah Ihya, bukan pilihan bijak. Pasalnya tren yang berkembang saat ini menjurus kepada hobi dan gaya hidup.

Hal ini diakui Assistant Manager Marketing Communication The Plaza Balikpapan, Ella Atheresia. Menurutnya, pilihan APLN pada konsep gourmet promenade tanpa penyewa utama department store bukan tanpa alasan.

"Kami menawarkan sesuatu yang berbeda. Kami menawarkan gaya hidup menikmati sajian makanan di luar rumah dengan nuansa urban dan pemandangan pantai (beachside) yang tidak didapatkan di tempat lain. Ini keunggulan kami. Meskipun peritel yang mengisinya sekelas Mc Donald, Starbucks, Tea Presso, Calais atau Pizza Hut, namun nuansanya berbeda," urai Ella, Jumat (9/5/2014).

Menurut Ihya, sudah bukan waktunya "ngotot" memperebutkan department store sebagai penarik utama ramainya pusat belanja. Tetapi, mulai bermainlah di ranah konsep dan karakter pusat belanja. Pasalnya, semua department store kelas menengah dan menengah atas sudah memutuskan untuk membuka di tempat-tempat tertentu yang menjadi pilihan pemegang lisensi.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau