Meski dalam segi populasi, hanya berada pada kisaran 678.969 penduduk permanen, namun daya beli dan menghabiskan dana belanja (buying and purchasing power), cukup tinggi. Bahkan, untuk beberapa item, berada di atas rerata purchasing power penduduk Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Contohnya untuk "fashion" dan aksesoris, warga Balikpapan bisa menghabiskan sekitar Rp 1 juta dalam sekali belanja. Sedangkan untuk kuliner, uang yang dibelanjakan serentang Rp 150.000 hingga Rp 400.000.
Wajar saja bila saat ini ada empat pusat belanja skala besar yang sedang dikembangkan. Keempatnya adalah Pentacity Mall di area Balikpapan Superblock kembangan Wulandari Bangun Laksana, The Plaza Balikpapan yang dibesut Agung Podomoro Land (APLN), Supermal Balikpapan milik Salim Group, dan CBD Balikpapan yang dikembangkan Mitra Gemilang Mahakarya (MGM).
Hanya, tidak mudah bagi pengembang untuk menjadi penguasa pasar pusat belanja kota ini. Terlebih saat konstelasi properti sedang dalam siklus retailer's market di mana peritel yang aktif mengembangkan sayap bisnisnya akan diperebutkan oleh pengembang pusat belanja. Mereka memiliki "otoritas" untuk menolak, mengabaikan atau menerima pinangan pengembang mengisi pusat belanjanya.
Oleh karena itu, menurut Associate Director Research & Advisory Cushman & Wakefield Indonesia, Soany Gunawan, strategi jitu dan konsep tepat sangat berpengaruh dan menentukan kesuksesan sebuah pusat belanja. "Pengembang tidak bisa hanya asal comot atau meniru konsep dan genre pusat belanja di Jakarta, misalnya, untuk kemudian membawanya ke kota ini," ujarnya saat paparan Property Market Outlook beberapa waktu lalu.
Pengembang harus kreatif dan melakukan diferensiasi agar kehadiran pusat belanja yang mereka kembangkan menjadi pilihan utama, karena peta perpusatbelanjaan di Balikpapan sudah bergeser. Bukan lagi pada pemenuhan kebutuhan pusat belanja dengan jumlah rasio penduduk, melainkan, bagaimana sebuah pusat belanja menawarkan hal berbeda dan menjadi destinasi belanja.
Untuk itulah, mengapa kemudian para pengembang kemudian mengubah genre, deoxyribonucleic acid (DNA) dan karakteristik pusat belanja yang mereka kembangkan. Bahkan, MGM Land sampai harus mengubah konsep sebanyak tiga kali.
Center Director CBD Balikpapan, Ihya Nasution, menyadari jika hanya membangun pusat belanja dalam sebuah bangunan masif dengan isi para penyewa fashion apparel, dan sedikit kuliner tanpa ada perbedaan dengan pusat belanja eksisting, bukan tidak mungkin akan terjadi kanibalisme.
"Pasar Balikpapan sangat unik, karena merupakan kota para pendatang. Mereka terbagi atas beberapa kelompok. Meski sama-sama berdaya beli tinggi, belum tentu semua selera serupa. Ada kelompok mapan dengan gaya hidup lurus, ada kalangan muda dengan gaya hidup dinamis, ada juga gabungan keduanya serta kalangan yang tidak hirau perubahan gaya hidup," papar Ihya kepada Kompas.com, Sabtu (10/5/2014).
Non-department store
Untuk mengembangkan pusat belanja berskala besar dengan menumpukkan kekuatan hanya pada penyewa besar department store, tambah Ihya, bukan pilihan bijak. Pasalnya tren yang berkembang saat ini menjurus kepada hobi dan gaya hidup.
Hal ini diakui Assistant Manager Marketing Communication The Plaza Balikpapan, Ella Atheresia. Menurutnya, pilihan APLN pada konsep gourmet promenade tanpa penyewa utama department store bukan tanpa alasan.
"Kami menawarkan sesuatu yang berbeda. Kami menawarkan gaya hidup menikmati sajian makanan di luar rumah dengan nuansa urban dan pemandangan pantai (beachside) yang tidak didapatkan di tempat lain. Ini keunggulan kami. Meskipun peritel yang mengisinya sekelas Mc Donald, Starbucks, Tea Presso, Calais atau Pizza Hut, namun nuansanya berbeda," urai Ella, Jumat (9/5/2014).
Menurut Ihya, sudah bukan waktunya "ngotot" memperebutkan department store sebagai penarik utama ramainya pusat belanja. Tetapi, mulai bermainlah di ranah konsep dan karakter pusat belanja. Pasalnya, semua department store kelas menengah dan menengah atas sudah memutuskan untuk membuka di tempat-tempat tertentu yang menjadi pilihan pemegang lisensi.
Meskipun PT Mitra Adi Perkasa Tbk (MAPI) sebagai pemegang lisensi Debenhams, dan Sogo telah menyiapkan dana belanja modal sebesar Rp 600 miliar dengan target pada 2014 memiliki luas gerai hingga 640.000 meter persegi, namun kata Ihya, tidak sembarang kota dan pusat belanja yang bakal mereka masuki.
Untuk diketahui, per November 2013 lalu MAPI mengoperasikan sekitar 1.700 gerai ritel dan department store di 57 kota seluruh Indonesia. MAPI memiliki 4 unit bisnis utama, yakni department store, specialty stores, food & beverage, serta unit-unit bisnis lainnya.
Sementara itu, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) mengalokasikan Rp 500 miliar untuk membuka 15 gerai baru tahun ini dengan konsentrasi di luar Jawa, yaitu Kalimantan dan Nusa Tenggara. Adapun gerai baru di Jakarta ada di St. Moritz Mall dan akan dibuka pada semester kedua tahun ini.
Debenhams sudah ada di Pentacity, Parkson memilih tempat di Supermal, Sogo juga sudah memberikan konfirmasi di tempat lain. "Kami memutuskan untuk melakukan transformasi dengan menciptakan Ginza District berkonsep one stop dining and entertainment," jelas Ihya.
Ada pun peritel kuliner yang sudah memberikan konfirmasi bergabung dengan Ginza District CBD Balikpapan yakni The Coffee Bean and Tea Leaf, Artiste Cafe and Lounge, Le Grandeur Brazilian and Wine, dan Kopitiam.
"Selebihnya merupakan kafe, dan bar. Kami sedang menjajaki Monologue, JJ Royal Bistro, Carl's Junior, Liberica dan lain sebagainya. Jadi kami melakukan seleksi penyewa agar sesuai dengan konsep one stop dining and entertainment," imbuh Ihya.
Demikian halnya dengan Pentacity Mall. Dikatakan Direktur PT Wulandari Bangun Laksana, Tjia Daniel Wirawan, pusat belanja seluas 68.000 meter persegi ini berbeda dengan konsep Ewalk sebelumnya.
"Pentacity Mall lebih merupakan pusat belanja gaya hidup (lifestyle center) dengan penekanan pada specialty.Kami sudah komit dengan target untuk buka pada Oktober 2014," ujarnya.