Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ingat... Praktik Alih Fungsi Lahan Itu Sama dengan Korupsi!

Kompas.com - 09/05/2014, 19:29 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Praktik alih fungsi lahan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun dan terkesan dibiarkan adalah masalah akut perkotaan yang selevel dengan kejahatan korupsi. Masalah tersebut harus ditangani secara tegas dan menyeluruh.

Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro, kepada Kompas.com, Jumat (9/5/2014), menyampaikan pendapatnya terkait penyelewengan tata guna lahan di kawasan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur), yang berbuah penangkapan Bupati Bogor Rachmat Yasin. Baca:  Penangkapan Rachmat Yasin, antara Tata Ruang dan "Tata Uang".

Menurut Bernardus, pembiaran terhadap praktik korupsi tata guna lahan mengakibatkan banjir, macet, tata ruang amburadul, semrawut, dan masalah sosial. Oleh karena itu, segala bentuk upaya memperkuat supremasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagai panglima tata guna dan fungsi lahan di Indonesia harus didukung.

"Pemberian sanksi keras terhadap koruptor alih fungsi lahan harus didukung dan digaungkan ke seluruh wilayah. Hanya dengan cara ini para birokrat dan pemangku kepentingan semakin memberikan perhatian penuh atas pentingnya implementasi dan pengendalian guna lahan," kata Bernardus.

Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa implementasi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya di perkotaan ataupun kawasan hutan merupakan penyebab utama terjadinya kekacauan dan permasalahan pertumbuhan kota. Hal itu karena pelanggaran fungsi, korupsi, dan pemaksaan kehendak para pihak, serta izin yang tidak sesuai termasuk oleh pemimpin daerah.

"Korupsi guna dan fungsi lahan tak hanya terjadi di Bopunjur, tetapi juga semua kota dan kabupaten Indonesia. Butuh upaya keras pemerintah pusat dan daerah dalam mengendalikan implementasi guna lahan di lapangan," imbuhnya.

RTRW dan RDTR

Aparat pemerintah yang berkompeten memberikan izin pembangunan harus berpedoman pada RTRW dan rencana detail tata ruang (RDTR) yang sudah ditentukan. Untuk itu, penyelesaian perda-perda RTRW dan RDTR harus segera dituntaskan karena hal itu merupakan pijakan hukum dari perencanaan ruang.

"Sayangnya, saat ini, status perda RTRW baru beberapa dari sekian ratus kota dan kabupaten di Indonesia," tandas Bernardus.

Kota dan kabupaten yang sudah memiliki perda pun belum dilaksanakan secara mangkus dan sangkil. Bahkan, lebih buruk lagi, RDTR yang belum berstatus perda sangat rentan terhadap penyelewengan dan pembangunan sporadis yang dilakukan masyarakat.

"Jadi, korupsi tak hanya dalam bentuk uang dan benda. Jalan pintas untuk mendapatkan izin alih fungsi RTRW  yang didukung penyelenggara pemerintahan harus dihukum keras karena esensinya adalah korupsi. Para pengembang besar dan kecil harus mulai taat aturan dan tidak melakukan potong kompas perizinan," pungkas Bernardus.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau