Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Fasilitas Pendidikan, Serpong Tak Lagi Tergantung Jakarta

Kompas.com - 26/03/2014, 18:46 WIB
Tabita Diela

Penulis

TANGERANG, KOMPAS.com - Ketergantungan kota-kota satelit pada DKI Jakarta bukan mustahil akan berkurang drastis di masa mendatang. Tolok ukur kemandirian kota, seperti ketersediaan pusat perbelanjaan, sarana pendidikan, kesehatan, dan perkantoran pun mulai tersedia di kota-kota satelit. Salah satu contohnya adalah pembangunan Kampus Utama Binus University di Alam Sutera, Serpong, Tangerang.

Pembangunan kampus ini tidak main-main. Gedung yang proses pembuatan konstruksinya telah rampung tersebut rupanya diperuntukkan sebagai Kampus Utama Binus University.

Menurut rencana, kampus tersebut akan mulai beroperasi pada September 2014 mendatang.
Kampus menempati area seluas lima hektar ini disebut-sebut mampu menampung 20.000 mahasiswa. 

Tabitha/KOMPAS.com Tolok ukur kemandirian kota, seperti ketersediaan pusat perbelanjaan, sarana pendidikan, kesehatan, dan perkantoran pun mulai tersedia di kota-kota satelit.

"Kami terus berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan, baik dari segi akademis maupun fasilitas. Kampus ini akan dikembangkan menjadi pusat indutri kreatif yang dapat memberikan nilai manfaat bagi mahasiswa dan masyarakatnya," kata Rektor Binus University Prof Harjanto Prabowo di sela acara penutupan atap (topping off) di lokasi proyek pembangunan kampus itu, Rabu (26/3/2014) siang.
 
Dalam sambutannya, Harjanto juga mengemukakan ambisinya agar kampus utama universitas yang dipimpinnya ini akan mencetak tenaga-tenaga kreatif dan inovatif. Para pelajar ini akan dibekali teknologi tinggi dan sarana lain yang berada di kampus utamanya.

Dengan semangat, Harjanto menunjukkan fitur-fitur yang menjadikan kampusnya tergolong ramah lingkungan dan hemat energi. Berdasarkan fitur ini, Kampus Utama Binus University tersebut bukan hanya ""pintar" berkat penggunaan teknologi tinggi. Sebutan hijau untuk kampus tersebut juga cukup pantas karena pihak kampus secara aktif melakukan konservasi air.

"Kampus akan mengumpulkan air hujan, mengolah, dan menggunakannya kembali. Air ini akan digunakan untuk menyiram tanaman dan mengguyur toilet," ujarnya.

Untuk mengurangi penggunaan pendingin udara bisa dicapai dengan membatasi jumlah sinar matahari masuk ke dalam ruang kelas. Namun, cahaya sinar matahari juga harus dipertahankan agar ruang kelas tidak perlu menyalakan terlalu banyak lampu. Pengurangan ini dilakukan menggunakan teknologi kaca lapis ganda (double glazed), selain juga menyertakan taman vertikal di depan jendela.

Sementara itu, kampus tersebut juga akan menggunakan lampu hemat energi berteknologi LED dan pendingin udara berteknologi sistem pendingin air atau water cooled chiller dengan inverter screw chiller system. Meski enggan menyebutkan besarannya, Harjanto mengakui, bahwa investasi dikeluarkan untuk teknologi ini lebih besar dari pendingin udara konvensional.

"Namun, biaya sehari-harinya lebih murah. Ini akan menguntungkan mahasiswa karena minim biaya berulang," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau