Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ledakan Penduduk, Potensi Menggiurkan Sekaligus Mengerikan....

Kompas.com - 16/12/2013, 14:22 WIB
Tabita Diela

Penulis

KOMPAS.com - Kota Tangerang mengalami gejala yang hampir serupa dengan Depok dan Bogor sebagai kota-kota penyangga DKI Jakarta. Kota ini mengalami ledakan populasi hingga mencapai 1,79 juta jiwa. Tak heran, pengembang-pengembang besar pun dengan mudah melihat potensi yang dimiliki oleh kota tersebut.

Sayangnya, kota ini pun mengalami permasalahan kemacetan, infrastruktur, permukiman, tenaga kerja, dan polusi yang khas dialami oleh kota penyangga. Namun, cukupkah permasalah tersebut mengganjal Kota Tangerang hingga tidak layak disebut  "Kota Metropolitan", atau adakah permasalahan lain lebih mendesak?

Seperti dilaporkan KOMPAS.com Oktober 2013 lalu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Tangerang tercatat mencapai Rp 2,9 triliun. Jumlah ini jauh lebih besar dari Depok dan Bogor. Kota ini sudah memiliki jalur bebas hambatan (tol) dan akses pendukung lainnya.

Kota Tangerang pun bukannya tanpa ciri khas dan potensi. Tangerang merupakan pusat manufaktur dan industri terbesar di Pulau Jawa. Lebih dari 1.000 perusahaan beroperasi di kota tersebut. Belum lagi, Bandara Internasional Soekarno-Hatta berada di kota ini.

Soal sumber daya manusia, Kota Tangerang juga tidak kekurangan. Sayangnya, penduduk Kota Tangerang yang mencapai 1,79 juta orang dirangkum dalam area seluas 164,54 kilometer persegi. Dengan kata lain, setiap kilometer persegi dipadati oleh tak kurang 11.000 orang.

Tentu saja, tidak sulit membayangkan masalah perkotaan terjadi akibat tingginya angka kepadatan penduduk di kota ini. Pesatnya pertumbuhan kota pun tidak merata. Saat ini, kemajuan hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Tangerang, Cipondoh, Benda, dan Karawaci.

www.shutterstock.com Selain pusat-pusat perbelanjaan, Kota Tangerang juga memiliki berbagai perumahan. Tersedianya akses menuju DKI Jakarta membuat kota ini menjadi alternatif menarik sebagai lokasi hunian.
Diburu pengembang

Pada beberapa area yang telah disebutkan di atas, memang, di sanalah para investor dan pengembang bermodal besar berada. Mereka telah menguasai dan membangun sentra-sentra komersial, membangun permukiman dan pusat perbelanjaan. Contohnya, di jalur utama kota atau Jalan Sudirman saja kini sudah ada dua pusat belanja baru, yaitu Bale Kota Mall yang dikembangkan PT Paramita Bangun Persada dan Tangcity Mall (Grup Trivo melalui PT Pancakarya Griyatama).

Berdasarkan survei Bank Indonesia yang diterbitkan Agustus 2013 lalu, dari total pasokan pusat belanja seluas 557.690 meter persegi di provinsi Banten, 95,77 persen di antaranya berada di wilayah Tangerang Raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan). Khusus untuk Kota Tangerang, saat ini tengah dikembangkan Cimone City Mall seluas 20.000 meter persegi.

Proyek ruang ritel berkonsep strata itu digarap oleh PT Adhi Persada Realty. Pusat belanja ini rencananya akan rampung dan mulai beroperasi pada 2015 mendatang. Kehadirannya akan menggenapi kehadiran Plaza Baru Ciledug, D'Best Cikokol, Supermall Karawaci, CBD Ciledug, Metropolitan Town Square, Balekota Mall, dan Tangcity Mall.

Pusat-pusat belanja tersebut menyasar semua segmen pasar. Mulai dari kelas bawah seperti Plaza Baru Ciledug, D'best Cikokol, dan CBD Ciledug, hingga kelas menengah seperti Metropolitan Square dan Tangcity Mall. Sedangkan Balekota Mall dan Supermall Karawaci membidik kelas menengah atas.

www.shutterstock.com Berdasarkan survei Bank Indonesia yang diterbitkan Agustus 2013 lalu, dari total pasokan pusat belanja seluas 557.690 meter persegi di provinsi Banten, 95,77 persen di antaranya berada di wilayah Tangerang Raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Tangerang Selatan).
Selain pusat-pusat perbelanjaan, Kota Tangerang juga memiliki berbagai perumahan. Tersedianya akses menuju DKI Jakarta membuat kota ini menjadi alternatif menarik sebagai lokasi hunian. Selain tol, jalan arteri dan jalan provinsi pun tersedia untuk menjawab kebutuhan penduduknya. Mudahnya akses, menurut Managing Director Corporate Strategy and Service Sinar Mas Land Ishak Chandra, merupakan hal penting. Tidak hanya harus dilalui, penghuni juga harus bisa menggunakan akses tersebut.

Sementara itu, Managing Director Urban Development PT Modernland Realty Tbk, Andy K. Natanael kepada KOMPAS.com mengungkapkan bahwa untuk daerah Tangerang, rumah tapak atau landed house masih tetap yang utama digandrungi.

"Tadinya memang ruko. Namun, belakangan berubah ke rumah. Kalau apartemen belum terlalu digandrungi di sini. Kalaupun ada, yang beli beli masih belum yakin. Sebab kalau mau beli apartemen, lebih baik ke Jakarta," ujar Andy.

Ihwal ini, pengamat dan peneliti perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna sempat mengungkapkan pada KOMPAS.com bahwa seharusnya pemerintah merangkul pengembang besar.

"Harusnya dia (walikota) merangkul pengembang besar, menjaga keharmonisan, sinergisitas untuk bangun rumah bagi penduduk yang tidak punya rumah seperti para buruh. Ini perlu agar bisa mengurangi kawasan kumuh. Kawasan kumuh berkurang, macet berkurang, kawasan banjir berkurang. Setelah itu, bantu dengan angkutan umum yang baik. Buruh bisa menggunakannya untuk mobilitas bekerja. Sehari-hari, beban dari (lalu-lintas) pabrik bisa berkurang," ujar Yayat.

Menurut Yayat, tanpa adanya sinergi dari pemerintah, pembangunan yang dilakukan para pengembang besar berpotensi tidak merata.

"Bisa jadi, satu area begitu maju dan modern, sementara di luar itu jauh tertinggal, kumuh dan tidak terawat. Sudah saatnya pengembang besar dengan kewajiban Undang-Undang No 1 Kawasan Permukiman wajib membangun permukiman sederhana dalam konsep rumah susun sewa," ujar Yayat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau