Indikasi perlambatan tersebut, salah satunya terlihat dari anjloknya jumlah transaksi selama paruh pertama tahun ini yakni sebesar 42,5 persen ketimbang periode yang sama tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh penurunan permintaan akibat terganggunya daya beli konsumen yang dipicu kenaikan suku bunga KPR dan pemberlakuan rasio kredit terhadap aset yang diagunkan (loan to value/LTV).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda, koreksi dilakukan terhadap hunian baru (baik apartemen maupun rumah) untuk tipe menengah, dari sebelumnya Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar per unit, menjadi Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar per unit.
"Pengembang sudah mulai sadar bahwa lonjakan harga yang selama ini terjadi, bukan harga riil. melainkan harga yang terbentuk akibat praktek spekulasi investor pemburu rente. Mereka kemudian melakukan penyesuaian harga sehingga dapat diterima oleh konsumen nyata atau yang benar-benar membeli rumah untuk dihuni, bukan investasi," jelas Ali kepada Kompas.com, Selasa (29/10/2013).
Fenomena yang terjadi dalam dua tahun terakhir, lanjut Ali, yakni harga yang melonjak tak terkendali, akibat ulah para spekulan. Mereka memborong hunian yang berpotensi menawarkan keuntungan menggiurkan dalam waktu singkat. Bahkan, saat masih dalam proses pra penjualan, rumah-rumah tersebut sudah berpindah tangan dari satu investor ke investor lainnya.
"Sayangnya, mereka, para spekulan dan pengembang yang terlibat praktek ini lupa bahwa properti bukanlah obyek investasi seperti saham yang keuntungannya bisa didapat secepat kilat. Properti adalah instrumen investasi jangka panjang yang hasilnya baru akan bisa dinikmati dalam beberapa tahun ke depan. Jika disparitas harga rumah baru dengan rumah sekunder sangat tipis, maka sudah dipastikan pasar dipenuhi praktek spekulasi," ujar Ali.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan pasar properti kepada kondisi normal dengan pembeli riil, penyesuaian harga menjadi penting.
"Properti adalah investasi jangka panjang. Dalam kondisi apa pun, nilainya akan terus naik. Meskipun memang pertumbuhan wajarnya tidak setinggi properti yang sengaja "dispekulasikan," imbuh Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.