Marry dan Eric menyewa satu di antara 34 rumah kapal di kota Seattle, Amerika Serikat. Keduanya mendekorasi rumah kapalnya layaknya hunian-hunian pada umumnya. Sapuan cat ungu dan emas yang mencolok mata, memudahkan kita mengenalinya dari jauh.
Rumah terapung ini berawal dari sebuah kapal tongkang yang dibangun pada tahun 1980-an. Seusai menyepakati transaksi sewa dengan pemiliknya, Marry dan Eric pun mulai melakukan renovasi interiornya pada Februari lalu. Mereka "merampingkan" fungsi-fungsi ruangan menjadi lebih sangkil dari sebelumnya.
Luas rumah kapal ini 760 kaki persegi dengan plafon yang rendah. Penghuni dan tamu harus merundukkan kepala untuk memasuki ruang-ruang di dalamnya. Meski begitu, fitur yang terdapat di dalamnya lumayan lengkap.
Tamu akan disambut oleh sebuah ruang tamu mungil, lengkap dengan sofa dan aksesori bertema vintage serta karpet lembut bercorak ungu yang menutupi lantai parket. Beranjak sedikit ke dalam, terdapat dapur yang juga bernuansa ungu berikut kabinet dan peralatan memasak.
"Kami menggunakan oven 'propana'. Kami juga harus membeli peralatan untuk memastikan lampu 'pilot' tetap menyala," jelas Marry.Bagaimana dengan urusan kebutuhan biologis seperti buang air kecil dan besar? Keduanya harus membayar 18 dollar AS atau setara Rp 196.722 seminggu untuk membayar petugas pemompa limbah toilet. Sedangkan untuk keperluan mencuci, mereka memanfaatkan jasa binatu di darat.
Merasakan kehidupan di atas air, sama halnya dengan menghadapi badai dan arus pasang. Jika terjadi kedua fenomena alam ini, mereka harus memperbaikinya dengan biaya lebih mahal. Apalagi bila kerusakan parah terjadi di bagian luar kapal, mereka terpaksa harus membawanya keluar dari air.
Setiap empat sampai lima tahun sekali, bagian bawah harus dibersihkan dan secara berkala membuat perbaikan bagian-bagian tertentu yang diperlukan.
Apalagi bila momen Hari Kemerdekaan tiba, setiap tanggal 4 Juli mereka akan menyaksikan pesta kembang api dari atas dek atap rumah kapal.
Sungguh, sebuah pengalaman hidup yang mengesankan!