Menurut Survei Bank Indonesia kuartal II 2013, sebanyak 54,91 persen pengembang yang menjadi responden, mengungkapkan bahwa dana internal perusahaan masih merupakan sumber utama pembiayaan pembangunan properti mereka. Sementara pinjaman perbankan (bank loan) menempati porsi sebesar 32,41 persen. Dana konsumen yang mereka manfaatkan masih sekitar 10,17 persen. Sisanya merupakan dana yang berasal dari Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) sebanyak 1,25 persen dan lain-lain (1,26 persen).
Berdasarkan komposisi, sumber pembiayaan dari dana internal, mayoritas berasal dari modal disetor (45,60 persen), laba ditahan (35,70 persen), patungan modal (joint venture) sebesar 3,67 persen) dan lain-lain (15,04 persen).
Direktur Keuangan Wika Realty, Imam Sudiyono, menjelaskan bahwa penggunaan dana internal tersebut ditujukan untuk pos-pos pra konstruksi, seperti pembelian lahan, biaya perizinan, perancangan atau desain, serta marketing dan promosi.
"Wika Realty menetapkan komposisi dana internal, pinjaman perbankan dan dana konsumen didasarkan pada masing-masing proyek. Jika serapan pasarnya bagus, maka kami mengalokasikan dana internal lebih besar ketimbang pinjaman perbankan. Biasanya kami menetapkan komposisi 20 persen pinjaman bank, 40 persen ekuitas perusahaan dan 40 persen pembayaran konsumen," jelasnya kepada Kompas.com, Selasa (27/8/2013).
Sebaliknya, jika serapannya kurang maksimal, mereka memilih menggunakan dana perbankan yang dikombinasikan dengan dana internal dan pembayaran konsumen. Selama ini, Wika Realty, hanya mengalokasikan sekitar 20 persen pinjaman perbankan dari total proyek yang dikembangkan. Itu pun belum tentu terserap habis.
"Tahun ini kami membangun 6 proyek. Total pinjaman perbankan sebesar Rp 200 miliar dengan suku bunga 11 persen hingga 12 persen. Sementara target penjualan Rp 1 triliun. Kami optimis, dana penjualan proyek-proyek akan tetap positif sehingga mengurangi penggunaan dana perbankan," imbuh Imam.
Sementara PT Metropolitan Land Tbk (Metland) menempatkan dana perusahaan sebesar 40 persen dan 60 persen pinjaman perbankan untuk proyek-proyek komersial. Komposisi sebaliknya, berlaku untuk proyek residensial.
Menurut Presiden Direktur Metland, Nanda Widya, alokasi dana perusahaan dengan porsi lebih besar untuk proyek residensial karena pembelian lahan tidak mungkin dibiayai oleh pinjaman bank.
"Beli lahan untuk perumahan harus menggunakan dana perusahaan karena nilainya cukup besar. Selain membeli lahan, dana internal kami gunakan untuk biaya-biaya kontrak, belanja karyawan, overhead dan lain-lain," ujar Nanda.
Saat ini, Metland mendapat kucuran kredit konstruksi dari Bank Mandiri. Hal ini sekaligus menggenapi sekitar 17,07 persen alokasi kredit konstruksi terhadap kredit properti sebesar Rp 433,31 triliun per kuartal II 2013.
Sementara secara umum, Data Laporan Bulanan Bank Umum (LBU) menunjukkan bahwa penyaluran kredit properti sampai Juni 2013 mencapai Rp 433,31 triliun, tumbuh 12,78 persen dibanding kuartal sebelumnya atau 20,89 persen secara tahunan.
Kredit properti tersebut memberikan kontribusi sebesar 14,47 persen dari total outstanding kredit bank umum (Rp 2.993,6 triliun). Secara triwulanan, pertumbuhan terbesar berasal dari kredit konstruksi sebesar 17,07 persen diikuti KPR dan KPA yakni 12,30 persen.
Proporsi dalam kredit properti tidak mengalami perubahan signifikan dari triwulan terakhir. Kredit perumahan masih merupakan pangsa terbesar dalam kredit properti yakni 59,97 persen diikuti kredit konstruksi 25 persen dan kredit properti komersial 15,03 persen.
Baik Nanda maupun Imam sepakat bahwa untuk saat ini, lebih baik menggunakan dana internal ketimbang pinjaman perbankan. Selama masih mencukupi, pemanfaatan dana perusahaan menekan risiko yang diakibatkan cost of fund sebagaimana yang diberlakukan pada pinjaman perbankan.