"Umumnya, kota-kota di Meksiko memiliki zócalo atau alun-alun. Sebuah ruang terbuka, biasanya tidak diprogram dengan ketat. Secara tradisional digunakan sebagai pasar, perayaan, protes, upacara, tempat bersantai, atau bersosialisasi. Zócalo dikelilingi bangunan-bangunan penting dalam bidang sosial, seperti gereja utama dan kantor pemerintah," tulis Perkins.
Perkins membandingkan karakteristik kota-kota di Meksiko dan Amerika Serikat. Sebuah kota kecil bernama Cuetzalan ia jadikan contoh. Zócalo atau alun-alun di Cuetzalan terbagi menjadi teras-teras dengan ketinggian berbeda. Setidaknya, ada enam area berbeda yang dibagi menjadi paruh "A" hingga "F". Paruh "B" merupakan bagian dari halaman gereja. Kegiatan di tempat ini benar-benar tidak terprogram. Di dalamnya hanya terdapat ruang kosong berisi tempat-tempat duduk di sekeliling tembok, serta sebuah tiang tempat para penari beratraksi.
Akses menuju gereja dapat dicapai dari paruh "A" yang lebih rendah. Di sini terdapat beberapa penjual menjajakan barangnya di atas lapak. Uniknya, di tempat ini juga terdapat trampolin bagi anak-anak.
Sementara itu, di paruh "C" terdapat gazebo berplafon tinggi di tengahnya. Tempat ini merupakan ruang terbuka taman publik. Tempat-tempat duduk di sepanjang tanaman dilengkapi dengan peneduh.
Di paruh "D" yang lebih tinggi terdapat tangga-tangga dengan pijakan cukup besar. Pijakan ini dapat berfungsi sebagai amphiteater raksasa untuk pertunjukan rakyat. Ketika ada "pasar tumpah", lapak bertebaran di tempat ini. Penjual menjajakan buah, tembikar, dan barang-barang kebutuhan rumah tangga.
Di paruh "E" terdapat jalur untuk mencapai jalan utama. Jalurnya datar dan memiliki beberapa toko di sisi-sisinya. Sementara itu, di paruh "F", meski bukan benar-benar bagian dari ruang terbuka namun tetap penting. Di tempat ini pengunjung dapat melihat keseluruhan zócalo di bawah.
Ketiga, ada banyak tempat duduk dengan berbagai karaketristik. Keempat, tempat ini memberikan contoh yang baik, bahwa ruang publik yang terbuka sebaiknya tidak menjadi satu-satunya konektor antar lokasi. Tidak semua orang ingin melihat-lihat berbagai komoditi di lokasi tersebut. Ada sebagian orang yang menginginkan akses cepat.
Kelima, lokasi ternyata memegang peranan penting dalam kegiatan usaha. Di lokasi ini, orang-orang berlalu-lalang di sekitar gereja dan pusat administrasi kota. Restoran, hotel, dan ritel dapat memiliki penghasilan banyak dengan berada di jalur orang bepergian.
Menurut sang penulis, untuk menciptakan ruang publik yang begitu "hidup" diperlukan padatnya populasi dan keinginan para penduduk berjalan kaki. Jakarta sudah memiliki penduduk berjumlah 9.607.787 jiwa (hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik 2010). Kota ini terbilang padat dengan adanya 14.469 jiwa per-kilometer persegi. Seharusnya Jakarta bisa membangun alun-alun dan ruang publik yang dapat diakses secara mudah dan gratis.
Berbeda halnya dengan Amerika Serikat. Di kota-kota besar AS penduduknya enggan berjalan kaki karena jarak dari satu tempat ke tempat lainnya cukup jauh. Selain itu, tidak semua tempat memiliki fasilitas memadai bagi pejalan kaki. Kultur ini memaksa warganya terbiasa menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian dari satu titik ke titik lainnya.
Dia juga mengutarakan, pasar-pasar tradisional di Amerika Serikat kini menjadi sangat terbatas. Semua orang membeli di supermarket. Pajak dan aturan ketat kesehatan justru menjadi penghalang bagi pasar-pasar tradisional semacam ini. Sebenarnya ketatnya aturan, baik untuk menjaga keteraturan dan menjamin keamanan konsumen. Sayangnya, hal tersebut tidak memberi ruang bagi alternatif kegiatan lain.