Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah "Bubble" Membayangi? Ini Indikatornya....

Kompas.com - 30/05/2013, 16:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Semua kalangan yang terlibat dalam bisnis dan industri properti serta sektor terkait pasti akrab dengan kata ini, "bubble", alias kondisi menggelembung. Tapi, tahukah Anda bahwa kondisi "bubble" menunjukkan indikasi yang khas, karena itu dampaknya begitu luar biasa?

Saat kondisi "booming" properti seperti saat ini dan diprediksi akan berlangsung dalam tiga tahun lagi, maka hantu "bubble" mulai membayangi. Apa indikasinya?

Menurut Managing Director Cushman and Wakefield Indonesia, David Cheadle, gelembung akan terjadi bila kenaikan pertumbuhan harga sangat signifikan akibat melonjaknya permintaan dan unsur spekulasi. Selain itu, tingkat ruang-ruang kosong properti strata dan sewa semakin bertambah.

"Harga tinggi akan memicu aktifitas pembeli yang bermotif investasi, memborong properti tersebut untuk dijual kembali. Mereka mengharapkan harga terus melambung, dengan demikian tingkat pengembalian investasi juga tinggi. Ini masalah kritis jika mayoritas pembeli adalah investor. Harga properti yang telanjur tiinggi tidak akan dapat diakses oleh pengguna akhir," ujar Cheadle dalam presentasi berjudul "Are We in Bubble or Not" di ajang Properti Indonesia Award 2013, Rabu (29/5/2013).

Titik kritikal properti yang dibeli oleh investor adalah ketika properti tersebut selesai dibangun, tidak segera dioperasikan atau diisi. Melainkan disimpan untuk diperjualbelikan kembali. Skenario lanjutannya mudah ditebak, akan terjadi kenaikan harga lagi untuk produk yang baru. Proses jual beli dan kenaikan harga ini akan terus berulang hingga jumlah pasok jauh melebihi permintaan riil yang notabene berasal dari pengguna akhir.

Dikatakan CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, celakanya mayoritas pembeli yang melakukan aktifitas transaksi saat "booming" sekarang notabene investor.  Hal ini sebetulnya yang harus diwaspadai. Meskipun dalam tiga tahun ke depan masih banyak pembeli riil terutama dari daerah yang membeli properti di Jakarta. Tapi kalau harga naik terus, apalagi setiap Senin, yang beli bisa dipastikan adalah investor. Sementara pengguna akhir memiliki daya beli tertentu dan terbatas.

"Harga yang berlaku adalah harga ekspektasi investor, bukan harga yang mampu dibayar oleh pengguna akhir. Ketika kenaikan harga tersebut tidak diimbangi oleh meningkatnya kemampuan beli pengguna akhir, dapat dipastikan permintaan pun bakal melorot. Hal ini menyisakan pasok berlebih alias tidak terserap sehingga harga pun akan jatuh," jelas Hendra.

Sementara menurut Tony Tardjo, Head of Consummer Lending CIMB Niaga, gelembung terjadi ketika tidak ada keseimbangan antara jumlah permintaan dan pasok properti. Dus, kenaikan harga yang terjadi, melebihi prediksi yakni rata-rata di atas 30 persen.

"Terdapat dua aspek gelembung properti yakni komponen valuasi dan komponen utang. Komponen valuasi mengukur seberapa tinggi harga properti yang dapat diakses pengguna akhir. Sedangkan, komponen utang mengukur seberapa besar utang pengguna akhir ketika membeli properti dan banyaknya eksposur utang bank terakumulasi dengan pinjamannya," ucap Tardjo.

Namun demikian, lanjut Tardjo, kondisi properti di Indonesia saat ini masih terkendali. Permintaan tetap ada, diimbangi dengan pasok yang cukup. Pemberlakuan aturan Loan to Value (rasio pinjaman terhadap nilai properti) diharapkan dapat mengendalikan arah pertumbuhan properti, menjadi lebih positif.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com