JAKARTA, KOMPAS.com - Hujan yang mengguyur ibu kota pada awal tahun 2020 dinilai sebagai curah hujan terkestrim selama 186 tahun terakhir. Akibatnya, sejumlah wilayah di Jabodetabek terdampak banjir.
Banjir tak hanya menimpa perumahan kumuh dan padat penduduk, melainkan juga di sejumlah kawasan perumahan elite, seperti Kelapa Gading, dan Cempaka Putih.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta Dani Muttaqin berpandangan, ancaman curah hujan ekstrim perlu dihadapi dengan penanganan yang ekstrim dan radikal pula.
“Perlu ada peningkatan kapasitas penanganan bencana yang ekstrim dan radikal untuk menanggulangi banjir di Jakarta," ujar Dani dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Jumat, (3/1/2020).
Untuk itu, perlu kapasitas penanganan bencana seperti penanganan struktur, non-struktur, regulasi, maupun tata kelola.
Dia menilai, kapasitas penanganan banjir ibu kota saat ini belum memadai. Padahal, curah hujan ekstrim kemungkinan akan terjadi lagi dalam waktu dekat.
Salah satunya diakibatkan fenomena perubahan iklim maupun tekanan penduduk yang semakin tinggi di kawasan Jabodetabek.
Baca juga: Penanganan Banjir Jakarta Bisa Meniru Tokyo
Secara akademis, risiko bencana (R) bergantung pada besarnya ancaman (H) dan kerentanan (V) yang berbanding terbalik dengan kapasitas, baik kapasitas struktur, non-struktur, regulasi maupun tata kelola (C).
Dengan semakin tingginya ancaman curah hujan ekstrim dan kerentanan wilajah Jakarta yang berada di bawah permukaan laut, maka kapasitas penanggulangan harus semakin besar.
Kapasitas kedua waduk tersebut bisa menampung sekitar 30 persen aliran air yang mengarah ke Jakarta sehingga masih dibutuhkan adanya tambahan pembuatan sumur resapan.
Untuk meresapkan sisa air dari hulu dibutuhkan sekitar kurang lebih 192.513 buah sumur resapan.
Baca juga: Lawakan Tak Lucu Awal Tahun: Normalisasi versus Naturalisasi
Pembangunan sumur resapan tersebut memerlukan luas permukaan sebesar 76 hektar area yang dapat menggunakan lahan-lahan kosong, sempadan ataupun halaman bangunan fasos fasum di bagian hulu Jakarta.
Tak hanya itu, perlu adanya pembangunan Sodetan Sungai Ciliwung dari Sungai Ciliwung ke Kanal Banjir Timur (KBT) di bgian tengah dan hilir. Agar, aliran air di Sungai Ciliwung dapat terpecah mengalir ke KBT.
Dengan pembangunan tersebut, aliran sungai dari Ciliwung bisa bergerak ke Barat dan Timur, sehingga tak terjadi penumpukan dan terhenti di bagian tengah.