TEPAT lima tahun lalu tulisan saya di harian Kompas berbarengan dengan pelantikan kabinet, mengulas harapan agar perencanaan kota-kota Indonesia mengarusutamakan sustainability dan layak huni.
Menggugat rencana pembangunan tanggul raksasa berbentuk Garuda yang di atasnya terdapat bangunan-bangunan masif mixed-use dan jalan tol di muka Teluk Jakarta. Sungguh memperlihatkan sebuah realitas urban kota kita.
Hari ini, urusan pulau Garuda sementara berhenti, walau masih banyak pihak merasa berhak membangun garuda dalam bentuk lain. Namun megapolitan sebagai ekspresi kekuasaan menyiratkan kekuatan uang dan kemiskinan sekaligus masih tetap dominan.
Ruang kota-kota Indonesia pun mengalami keadaan ketika kesenjangan dan pengaruh kekuasaan menjadi fenomena utama kota.
Kota-kota Indonesia yang semakin padat sangat rentan bencana. Kelompok kaum urban yang rentan pun menempati berbagai ruang kota produktif, terjepit kekuatan kapital yang seakan mengarahkan pembangunan kota ke ruang yang salah.
Salah satu isu utama urbanisasi Indonesia adalah primatnya megapolitan Jakarta dengan lebih dari 30 juta penduduk. Dengan proyeksi bahwa Pulau Jawa akan menjadi lebih dari 80 persen perkotaan, membuat Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan tantangan urbanisasi paling besar di dunia.
Dalam Kongres Perencana se-Dunia (ISOCARP), di Jakarta, September lalu, tak kurang 700 perencana dari 44 negara meneropong pentingnya negara seperti Indonesia memasukkan agenda urbanisasi dalam skala kepentingan tinggi kebijakan negara maupun pemerintah daerah (pemda).
Agenda utama untuk mencapai pembangunan yang adil dan seimbang dalam sistem perkotaan, dan tercapainya kelayakan huni serta inklusivitas dalam pembangunan.
Salah satu pemikir besar isu metropolitan, kawan baik saya Pedro Ortiz mantan Wali Kota Metro Madrid, dalam salah satu kelas teknik perencanaan bersama, menekankan pentingnya melihat jendela kesempatan manfaat koordinasi antar daerah di metropolitan.
Pemikiran Ortiz menekankan pentingnya jejaring sistem kota yang membentuk megapolitan, dan jejaring tersebut teramat vital sebagai bahan bagi para perencana, perancang kota, arsitek, dan semua pengampu kebijakan.
Nah, tentunya tantangan pengelolaan megapolitan ke depan membutuhkan keterlibatan baik investor maupun para profesional di bidang perencanaan kota, agar pembangunan dapat mengakar pada realities of places yatu potensi dasar suatu tempat.
Apabila kita tengok kebijakan perkotaan kita, akan dihadapkan pada isu koordinatif yang sangat pelik. Karena kita masih belum memiliki strategi yang tajam dalam menangani isu sistem kota-kota kita.
Perencanaan tata ruang, perencanaan pembangunan, aturan ruang hutan, pesisir, pulau maupun pengendalian, masih terkotak-kotak di berbagai Kementerian.
Untuk itu dibutuhkan tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta kabinet barunya dalam menata ulang serta memperkuat kelembagaan terkait perencanaan dan isu perkotaan.
Kementerian yang bertanggung jawab atas perencanaan negara, bukan hanya perlu menata tata ruang, namun juga fokus pada peningkatan kemampuan birokrasi di bidang perencanaan untuk mengatasi kecepatan urbanisasi, termasuk mengatasi cepatnya pertumbuhan dan fleksibilitas pembangunan informal.