SYDNEY, KOMPAS.com - Tak hanya Indonesia, kondisi perlambatan pasar properti juga terjadi di Australia.
Hal ini terlihat dari laporan RBA Cash Rate Survey yang menunjukkan penurunan harga rumah dan apartemen akan terus berlanjut hingga tahun 2020 mendatang.
Kecuali Kobart dan Canberra, semua kota besar di Negeri Kanguru ini, mengalami kemerosotan harga rumah hingga lebih dari 60.000 dollar Australia atau ekuivalen Rp 602.732.000.
Khusus kota Sydney, RBA Cash Rate Survey memprediksi harga rumah bisa turun 6,2 persen, menurunkan harga rata-rata menjadi 872.242 dollar Australia (Rp 8,762 miliar).
Bahkan, kondisi lebih buruk akan dialami apartemen dengan kemerosotan 7,7 persen.
Namun demikian, RBA Cash Rate Survey menganggap kondisi ini sebagai jalan bagi calon pembeli untuk mencari properti yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan finansialnya pada tahun depan.
Hal senada dikatakan Crown Group Chairman and CEO Iwan Sunito. Dia tetap optimistis di tengah situasi pasar yang belum stabil.
Baca juga: Iwan dan Paul, Duet Indonesia Penakluk Pasar Australia
Penjualan proyek-proyek Crown yang tengah dipasarkan saat ini, menurut Iwan akan mencapai hasil maksimal.
"Saya optimistis. Terutama di daerah kota seperti Waterloo Greensquare. Harganya tetap naik karena permintaan lebih kuat dibanding penawaran," tutur Iwan menjawab Kompas.com, Senin (22/4/2019).
Tahun ini, Crown Group menargetkan volume penjualan mencapai angka 35 juta dollar Australia atau sekitar Rp 351,6 miliar.
Kontribusi terbesar terjadi pada bulan Maret dan April yang berasal dari penjualan Mastery by Crown di kawasan Waterloo.
Karena pada faktanya selama dua dekade terakhir, properti terus menunjukkan kinerja sebagai instrumen investasi yang solid.
Dia mencontohkan rumah di Sydney yang dihargai Rp 1 miliar pada 1993, saat ini ditaksir menembus angka Rp 20 miliar.
Artinya, telah terjadi pertumbuhan nilai sebesar 2.000 persen dalam 34 tahun atau rata-rata 58 persen per tahun.