JAKARTA, KOMPAS.com - Waktu menunjukkan pukul 07.15 WIB saat Erwin Kusuma (38) menunggu di Peron 1 Stasiun Pasar Minggu Baru, Jakarta Selatan, Senin (15/10/2018).
Sudah lebih dari setengah jam ia berdiri di peron tersebut, berharap ada satu rangkaian kereta rel listrik (KRL) yang agak lengang untuk membawanya ke Stasiun Tanah Abang. Stasiun ini menjadi tujuan transitnya.
Tujuan pria berkaca mata kali ini adalah Stasiun Palmerah, lantaran ia ingin bertemu dengan seorang narasumber di kawasan Slipi sekitar pukul 10.00 WIB.
"Entar aja. Belum terlalu telat," ucap Erwin kepada Kompas.com.
Bagi Erwin, menggunakan transportasi publik seperti KRL jauh lebih menguntungkan daripada harus berjibaku dengan kemacetan ibu kota dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua.
Pertama, dari sisi waktu. Ia hanya butuh 45 menit mencapai Slipi dari rumahnya di bilangan Kalibata dalam kondisi lancar.
Sementara, saat menggunakan kendaraan roda dua, waktu yang ditempuh dapat mencapai 1 hingga 1,5 jam. Waktu lebih lama dibutuhkan bila menggunakan kendaraan roda empat atau bus.
Kedua dari sisi biaya, juga relatif lebih murah. Bila menggunakan kendaraan roda dua ia harus merogoh kocek antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000 untuk mengisi tangki motornya dengan BBM Pertamax.
Keuntungan lainnya yaitu dari sisi kesehatan. Erwin tak perlu lagi harus berhadapan dengan asap emisi karbon yang keluar dari knalpot kendaraan.
Hampir di sebagian besar kota-kota di dunia, transportasi publik berbasis rel menjadi andalan masyarakat dalam mobilitas sehari-hari dari titik satu ke titik yang lain. Tak terkecuali Jakarta.
Namun, ada hal yang disayangkan Erwin mengenai KRL ini.
"Jadwalnya kurang pasti. Ada di aplikasi, tapi itu suka telat. Dulu pernah instal aplikasinya, tapi karena tidak pasti akhirnya dihapus aja," ungkap dia.
"Pernah dulu tinggal satu stasiun, dari Stasiun Duren Kalibata mau pulang ke Stasiun Pasar Minggu Baru. Itu tiba-tiba berhenti di tengah. Dan akhirnya terpaksa berdiri setengah jam," kisah Erwin.