Sudah lebih dari setengah jam ia berdiri di peron tersebut, berharap ada satu rangkaian kereta rel listrik (KRL) yang agak lengang untuk membawanya ke Stasiun Tanah Abang. Stasiun ini menjadi tujuan transitnya.
Tujuan pria berkaca mata kali ini adalah Stasiun Palmerah, lantaran ia ingin bertemu dengan seorang narasumber di kawasan Slipi sekitar pukul 10.00 WIB.
"Entar aja. Belum terlalu telat," ucap Erwin kepada Kompas.com.
Bagi Erwin, menggunakan transportasi publik seperti KRL jauh lebih menguntungkan daripada harus berjibaku dengan kemacetan ibu kota dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua.
Pertama, dari sisi waktu. Ia hanya butuh 45 menit mencapai Slipi dari rumahnya di bilangan Kalibata dalam kondisi lancar.
Sementara, saat menggunakan kendaraan roda dua, waktu yang ditempuh dapat mencapai 1 hingga 1,5 jam. Waktu lebih lama dibutuhkan bila menggunakan kendaraan roda empat atau bus.
Kedua dari sisi biaya, juga relatif lebih murah. Bila menggunakan kendaraan roda dua ia harus merogoh kocek antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000 untuk mengisi tangki motornya dengan BBM Pertamax.
Keuntungan lainnya yaitu dari sisi kesehatan. Erwin tak perlu lagi harus berhadapan dengan asap emisi karbon yang keluar dari knalpot kendaraan.
Hampir di sebagian besar kota-kota di dunia, transportasi publik berbasis rel menjadi andalan masyarakat dalam mobilitas sehari-hari dari titik satu ke titik yang lain. Tak terkecuali Jakarta.
Namun, ada hal yang disayangkan Erwin mengenai KRL ini.
"Jadwalnya kurang pasti. Ada di aplikasi, tapi itu suka telat. Dulu pernah instal aplikasinya, tapi karena tidak pasti akhirnya dihapus aja," ungkap dia.
"Pernah dulu tinggal satu stasiun, dari Stasiun Duren Kalibata mau pulang ke Stasiun Pasar Minggu Baru. Itu tiba-tiba berhenti di tengah. Dan akhirnya terpaksa berdiri setengah jam," kisah Erwin.
Tak masalah membayar lebih mahal
Bagi seorang komuter seperti Erwin, kepastian waktu di jalan adalah sebuah hal yang mutlak. Pasalnya, orang yang harus ditemui dalam beberapa kesempatan, bukanlah orang sembarangan.
Terkadang, pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini, harus bertemu dengan pimpinan sebuah perusahaan atau pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, ketepatan waktu adalah hal utama.
Salah satu moda baru untuk transportasi publik yang dia tunggu adalah mass rapid transit (MRT) yang saat ini publikasinya demikian gencar.
"Katanya MRT itu kan bisa tuh dari Lebak Bulus sampai HI cuma 30 menit. Kalau pun sudah beroperasi, gue bakal milih naik itu dari pada KRL," cetus Erwin.
Kepastian waktu memang dijanjikan Direktur Utama PT MRT Jakarta, William Sabandar.
Untuk menempuh jarak perjalanan sejauh 16 kilometer, MRT hanya butuh waktu 30 menit. Dengan estimasi jarak kedatangan antara rangkaian kereta satu dan berikutnya hanya 5 menit, bila seluruh rangkaian beroperasi.
"Kami rencanakan bulan Maret 2019 akan beroperasi," kata William dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (10/10/2018).
Itu artinya, bila melakukan perjalanan penuh sejauh 16 kilometer, penumpang diharuskan membayar paling mahal Rp 13.600. Kendati demikian, tarif ini belum diputuskan pemerintah.
Menurut William dengan tingkat kemacetan Jakarta yang tinggi, MRT dapat menjadi salah satu solusi paling konkret bagi masyarakat.
"Bayangkan, kita gunakan waktu 2-3 jam setiap hari untuk bertransportasi. Kalau waktu itu bisa kita gunakan untuk yang lebih berkualitas, lifestyle baru itu akan lebih terwujud. Itu yang kami harapkan terjadi," tutur dia.
Sama halnya dengan Erwin, William meyakini, hadirnya MRT juga akan turut menciptakan budaya baru bertransportasi. Masyarakat menjadi tidak perlu khawatir terkena macet. Hal lain yang lebih penting yaitu kepastian waktu.
"Ketika ada kepastian, you dont need to buru-buru. Karena setiap lima menit ada kereta. Jadi aspek ketidakpastian ini harus dikontrol, harus dikurangi. Dengan MRT bisa kita pastikan waktunya," tandasnya.
https://properti.kompas.com/read/2018/10/16/231949621/jakarta-menuju-kota-efisien