HARI Perumahan Nasional (Hapernas) diperingati setiap 25 Agustus. Tanggal ini sangat bersejarah bagi perjalanan pembangunan perumahan di Indonesia karena pada 25-31 Agustus 1950, pemerintah untuk kali pertama menyelenggarakan Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Kota Bandung.
Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai perwakilan pemerintah di level pusat dan daerah, organisasi kepemudaan serta para tokoh atau ahli di bidang perumahan.
Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta juga didaulat untuk memberikan pidato yang secara garis besar berisi dorongan semangat kepada seluruh penyelenggara negara untuk mewujudkan hunian layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hapernas bukanlah sebuah perayaan kolosal sebagaimana hari besar lainnya, melainkan momentum perenungan mendalam di tengah beratnya tantangan pemenuhan kebutuhan papan di Indonesia.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang diolah dari hasil Pendataan Keluarga (BKKBN) tahun 2015 menunjukkan, masih ada sekitar 13 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia yang belum memiliki rumah dengan status hak milik.
Sebanyak 8,5 juta di antaranya masih hidup menumpang, baik dengan keluarganya sendiri maupun dengan orang lain.
Lalu hasil olahan data TNP2K juga menunjukkan bahwa masih ada sekitar 3 juta unit rumah di Indonesia yang tergolong tidak layak huni.
Di samping itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama juga mencatat masih ada 6,5 juta keluarga di Indonesia yang tinggal di rumah dengan luasan di bawah standar minimal kelayakan hunian.
Kondisi ini tentu jauh dari harapan dan cita-cita para pendahulu yang hadir pada acara Kongres Perumahan Sehat.
Soeandi dan Soekander yang pada saat itu mendapatkan kesempatan untuk memaparkan gagasannya menyatakan bahwa setiap rumah harus memiliki luasan minimal 36 meter persegi.
Bagi mereka, penetapan standar luasan rumah semestinya tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi, juga faktor higienitas, sosial dan pedagogi.
Mereka khawatir jika setiap anak tinggal di hunian yang terlalu sempit, maka mentalitasnya akan menjadi inferior (atau dalam bahasa Belandanya minderwaardigheidscomplex).
Pemerintah memang tidak lepas tangan dengan persoalan perumahan, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pemerintah telah melaksanakan berbagai program, baik dari sisi penyediaan maupun pembiayaan, seperti program Satu Juta Rumah, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan lain-lain.
Namun, program-program ini masih belum berjalan optimal karena sebagian besar pelaksanaannya di daerah terkesan sporadis dan tidak terencana dengan matang.