NEGERI kita kembali berduka dengan gempa bumi besar yang melanda Pulau Lombok dan sekitarnya hingga getarannya terasa di Bali dan Jawa Timur.
Korban jiwa yang ditimbulkan termasuk besar. Per 11 Agustus, BNPB menyebut 387 korban jiwa ditimbulkan akibat bencana itu.
Kemungkinan korban bisa bertambah mengingat masih ada beberapa daerah yang belum terjangkau untuk proses tanggap darurat dan evakuasi. Termasuk juga kemungkinan korban yang masih hidup, tetapi tertimbun reruntuhan bangunan.
Indonesia memang berada di antara sekian banyak patahan aktif yang sewaktu-waktu mengalami pergerakan dan mengakibatkan gempa tektonik besar.
Secara ilmiah, sebenarnya tidak ada yang namanya bencana, yang ada adalah peristiwa alam untuk menemukan keseimbangan barunya.
Gempa juga bukanlah penyebab utama timbulnya korban jiwa, tetapi efek sekundernyalah yang membahayakan manusia, yaitu robohnya bangunan.
Hingga saat ini belum ada teknologi di dunia yang mampu mendeteksi kapan terjadinya gempa bumi tektonik.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi kita selain harus bersahabat dengan "peristiwa alam" ini melalui pembelajaran dan penelitian ilmiah untuk mencegah korban jiwa.
Yang bisa dilakukan para ilmuwan hingga saat ini adalah memperkirakan besarnya magnitudo gempa dan periode berulangnya kejadian gempa.
Periode berulang tersebut dapat dikategorikan menjadi beberapa waktu. Ada gempa setiap 50 tahun, 500 tahun, dan 1000 tahun. Tentu sangat sulit memprediksi kapan tepatnya periode ulangan tersebut terjadi.
Uniknya, bagi praktisi konstruksi, tidak disarankan untuk merencanakan gedung yang sangat kuat dan mampu bertahan dari kemungkinan gempa terbesar. Hal itu akan berimbas pada membengkaknya biaya pembangunan karena kebutuhan material yang sangat besar.
Dalam ilmu keinsinyuran, ada filosofi mendasar untuk merencanakan bangunan, yaitu bangunan tidak boleh mengalami kerusakan berarti ketika terjadi gempa kecil. Namun, pada kejadian gempa besar, bangunan boleh rusak total, tetapi tidak boleh menimbulkan korban jiwa.
Filosofi tersebut merupakan bentuk kompromi antara biaya pembangunan dan keselamatan manusia. Untuk itu, perencana atau arsitek gedung pada masa perkuliahan mendapat ilmu untuk mengerti perilaku gedung terhadap gempa.
Mereka diharapkan dapat "merekayasa" proses keruntuhan gedung saat terjadi gempa besar sampai menusia di dalamnya dapat menyelamatkan diri terlebih dahulu sebelum terjadi keruntuhan fatal.
Dalam dua dekade terakhir, gempa besar di Indonesia ternyata masih memakan korban jiwa ratusan hingga ribuan nyawa. Ini tentu menyedihkan dan menjadi pekerjaan rumah besar untuk para praktisi bangunan dan pemangku kebijakan.