Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangun Rumah Rakyat, Pemerintah Perlu Belajar dari Jepang

Kompas.com - 13/09/2017, 20:00 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KompasProperti - Saat ini pengembang swasta masih menjadi pemimpin dalam proyek penyediaan kawasan perumahan di Tanah Air. Padahal, semestinya tugas tersebut dipegang oleh pemerintah.

Pemerintah juga dianggap memiliki peranan kunci dalam menyediakan hunian bagi masyarakat, khususnya yang berpenghasilan rendah (MBR).

Pemerintah sebenarnya telah memiliki badan usaha yang bertugas untuk memenuhi angka kebutuhan rumah yang tercatat sebesar 11,4 juta unit, yaitu Perum Perumnas.

Namun, lemahnya sinergi antara pemerintah dan BUMN, membuat Perumnas seakan tak bertaji dalam menghadapi kompetisi dengan pengembang swasta.

Baca: Menurut James Riady, Meikarta Terjual 130.000 Unit

Pemerintah pun dinilai gagal, karena tidak pernah membangun mekanisme yang harmonis dengan BUMN.

"Kalau misalnya sekarang Perumnas disuruh memimpin, developer (swasta) pasti enggak percaya. Sedangkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga tidak mau memberikan otoritas lebih kepada Perumnas, sehingga diperlukan developer biasa," tutur Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar kepada KompasProperti, Rabu (13/9/2017).

Jehansyah menyarankan pemerintah belajar dari Jepang terkait program sejuta rumah khusunya yang diperuntukkan bagi MBR.

Sejauh ini, Jepang telah berhasil memenuhi seluruh kebutuhan hunian masyarakat lantaran memiliki badan usaha yang memiliki otoritas penuh di sektor perumahan, yakni Urban Renaissance (UR).

Hampir 75 persen pengembangan kota baru di Jepang, digarap oleh UR. Badan usaha itu mampu menggandeng pengembang swasta mulai dari kelas kakap sampai kelas teri, dengan tidak menciptakan kawasan hunian yang tumpang tindih.

Baca: Bos Lippo Minta Pemerintah Jamin Kepastian Perizinan

Dalam hal ini, pengembang swasta diberi porsi untuk mengembangkan kawasan hunian komersial, seperti apartemen mewah, yang terintegrasi dengan sarana transportasi publik.

Namun, di kawasan yang sama juga dikembangkan apartemen atau rumah susun sewa dengan harga terjangkau bagi masyarakat oleh UR.

"Nah mereka yang sudah tinggal di danchi (apartemen sewa) selama 5-7 tahun, pindah ke apartemen yang lebih mewah," kata Jehanysah.

Dalam konteks Jepang, ia menambahkan, pengembang swasta tidak dibolehkan membangun apartemen yang ditujukan bagi MBR. Hal itu akan merusak standar sewa pasar yang ada.

Sebaliknya, ada batas waktu bagi masyarakat untuk menghuni apartemen sewa. Dengan demikian, masyarakat pun akan terpacu untuk meningkatkan perekonomian mereka, sehingga kemudian mereka pindah ke apartemen yang lebih mewah yang disediakan swasta.

Sementara itu, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan, dari 11,4 juta angka backlog, 20 persen di antaranya tergolong ke dalam jajaran rumah komersial yang tidak memerlukan subsidi.

Sedangkan, 20 persen lainnya tergolong ke dalam kelompok bawah yang membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Pasalnya, meskipun sudah diberi kemudahan fasilitas kredit, mereka tidak mampu membeli rumah.

"60 persen sisanya merupakan kalangan menengah yang memerlukan bantuan subsidi," kata Syarif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com