Membandingkan kota dunia, kita tidak bisa lepas dari membahas New York atau sebutannya The Big Apple. Atau Singapura, city state yang super teratur.
Benchmark menjadi sangat penting dalam menentukan persepsi atas tingkat kenyamanan kota. Bagi saya, aspek perbandingan tingkat kenyamanan akan selalu subyektif, namun tetap sadar atau tidak, akan mengacu pada sebuah benchmark yang lazim.
Maka kalau kita membandingkan New York, Singapura, atau Jakarta, tak pelak pesonanya terletak pada kekhasan lokal yang bertabrakan dengan acuan livability yang generik di masyarakat global. Kekhasan dinamika kota, baik sisi indah maupun sisi gelapnya, akan memberikan rona utama pada persepsi kita tentang kota tersebut.
New York, mulai populer mendapat julukan The Big Apple oleh John Fitzgerald penulis olah raga di New York Daily Telegraph. Pada tahun 1920-an John banyak menulis tentang pacuan kuda.
Pacuan kuda di New York merupakan lomba paling bergengsi karena menyediakan hadiah terbesar. Apple atau apel dilambangkan sebagai hadiah utama. Pada budaya mereka, hadiah apel adalah penghargaan besar yang bernilai tinggi, semakin besar semakin berharga.
New York direpresentasikan sebagai kota yang bila kita taklukkan, maka kita mendapat reward terbaik. Begitulah anggapan bangsa Amerika terhadap New York. Kota ini adalah lambang mimpi besar, kerja keras dan apabila kita berhasil di sana, maka kita dianggap bisa berhasil di mana pun.
Kehidupan di New York pun mencerminkan budaya ini. Masyarakat yang sangat kompetitif, ekonomi global menjadi ruang bermain nya, dan tanpa ampun akan melindas mereka yang tak berdaya.
Sistem transit New York setiap hari mengangkut sejumlah penduduk Singapura!
Singapura, tidak punya julukan yang tetap selain city state. Namun hampir pasti, negara kota ini identik dengan keteraturan, penuh larangan, lingkungan berkualitas dan nilai-nilai kehidupan kota yang terukur.
Ada kesamaan Singapura dan New York, yakni budaya global yang mengemuka. Ruang kota berkualitas menjadi ciri khas kota Singapura. Kota kecil ini memiliki elemen kota utopia, salah satunya keberadaan Botanical Garden di pusat kota.
Bagaikan oase di tengah gurun, taman nasional yang didirikan 1822 oleh Sir Stamford Raffles ini, yang kemudian sebagian menjadi barak-barak militer, sekarang menjelma menjadi pusat kuliner mewah di area pinggir taman nasional seluas 82 hektar.
Infrastruktur kota Singapura juga menjadi pilihan utama warga. Saat ini, dengan penduduk 5,6 juta, sistem MRT-nya memiliki 8 rute dengan 154 stasiun, mengangkut 3.1 juta orang per hari. Hari ini, Singapura terus membangun jalur ke 9 dan ke 10, dan 30 lagi stasiun untuk melayani warga beperjalanan.
Pelayanan yang sama menjadi mimpi indah warga Jakarta, yang berharap segera menjadi kenyataan. Saat ini sistem Bus Rapid Transit atau layanan bis TransJakarta. BRT ini hanya mengangkut 450.000 di kota berpenduduk 12 juta siang hari, dan sistem metropolitan 28 juta, salah satu konurbasi perkotaan terbesar ke-4 di dunia!