JAKARTA, KompasProperti - Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Lana Winayanti mengungkapkan, sebanyak 40 persen rumah subsidi tidak layak huni.
Hal tersebut berdasarkan kualitas rumah subsidi tidak memenuhi kriteria seperti jalan lingkungan, air bersih, sanitasi listrik.
Menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, ini terjadi karena pemerintah menyerahkan pembangunan rumah subsidi kepada pengembang swasta.
"Pengembang (swasta) kan tidak peduli, listrik masih 'byarpet', asal sudah masuk, dikatakan sudah dialiri listrik. Pengembang yang penting rumahnya terjual, karena orientasinya bisnis," ujar Jehansyah kepada KompasProperti, Selasa (22/8/2017).
Meski yang dibangun adalah rumah subsidi, lanjut Jehansyah, pengembang swasta pasti mencari untung setinggi-tingginya dalam penjualan rumah.
Jehansyah mencontohkan, dalam lahan seluas satu hektar layaknya dibangun 50 rumah sederhana.
Namun, pada kenyataannya, seringkali pengembang apalagi yang gurem, membangun rumah sampai 100 unit sehingga keuntungan yang didapat lebih besar.
"Dampaknya apa? Lingkungan jadi terlalu padat. Ini juga tidak layak huni," kata Jehansyah.
Sebenarnya, pemerintah telah mengeluarkan aturan bahwa rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak boleh dijual sebelum dibangun dan dilengkapi listrik dan air.
Meski demikian, lanjut Jehansyah, aturan tersebut belum cukup untuk memastikan rumah sudah layak huni.
Pasalnya, dalam hal ini, petugas yang memastikan persyaratan tersebut telah terpenuhi adalah dari perbankan, yaitu PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN.
Padahal, petugas BTN tidak memiliki kualifikasi sebagai manajemen konstruksi (MK) saat memeriksa kondisi rumah MBR dan lingkungannya.
"Mereka (petugas BTN) kan tidak tahu apakah dindingnya sudah dibangun dengan sesuai, apakah listriknya sudah benar-benar terpasang dengan jaminan tidak 'byarpet'. Jadi ya, asal ada saja," kata Jehansyah.
Ia menambahkan, BTN cenderung lebih fokus pada kelayakan masyarakat yang akan mengajukan kredit.
Kelayakan ini meliputi, apakah calon pemilik rumah dapat mencicil setiap bulannya sampai utangnya ke bank terlunasi.
"Artinya, BTN tidak berkepentingan untuk tepat sasaran atau tidak. Bisa saja di lapangan petugasnya juga sudah 'cincay' dengan pengembang," jelas Jehansyah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.