Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Harapan di Ujung Mimpi Tak Terbeli

Kompas.com - 29/07/2017, 14:00 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


SEBUAH rumah dibeli pada 2007 seharga kurang dari Rp 200 juta. Sepuluh tahun berlalu, harga rumah yang sama melejit 8 kali harga semula, jadi kisaran Rp 1,5 miliar.

Ini cerita dan angka nyata. Sudah "harga teman", bahkan. Luas tanah jelas tak berubah. Bangunan pun masih asli dari developer. Lupakan analisis krisis moneter, karena cerita ini bermula dari masa 10 tahun sesudahnya.

Lokasi rumah itu di kawasan di sisi timur wilayah Jakarta, yang akses terbaiknya cuma jalan tol. Iming-imingnya sejak dulu kala hanya akses kereta cepat, yang baru belakangan ini mulai mewujud nyata. Hal itu pun berakhir di pengkolan beberapa kilometer sebelum perumahan.

Kasus kedua, lain lagi ceritanya. Kali ini dari perbatasan selatan Jakarta. Di sini mulai ada tawaran yang juga bikin keselek meskipun tidak sedang terburu-buru makan.

Demi mengincar generasi milenial kinyis-kinyis, dibuka penawaran kredit rumah dengan uang muka tak sampai Rp 20 juta. Luas tanahnya kecil saja, 60 meter persegi. Namun, kreditnya dibikin bisa sampai 30 tahun.

Segmen yang diincar adalah lulusan kuliah yang baru kerja pertama dengan gaji di kisaran Rp 5 juta sampai Rp 10 juta. Juga, kelompok kelas menengah dan usia produktif yang memiliki gaji di kisaran angka itu.

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Penduduk Indonesia

Apa masalahnya?

Itu harga rumah bakal melejit gila-gilaan pada akhirnya. Andalan sumber pembiayaannya pun kemungkinan besar adalah kredit bank.

Praktiknya tetap saja cicilan per bulan hampir Rp 7 juta meski tenor kredit sudah 30 tahun. Luas tanah sama, 60 meter saja. Harga jual sebelum hitungan KPR Rp 900 juta.

Simplifikasinya, hitung saja pakai angka cicilan terkecil dan tenor terpanjang, Rp 7 juta x 12 bulan x 30 tahun, ketemu sudah Rp 2,1 miliar.

Kalau pakai kredit bank konvensional yang hitungannya bayar bunga dulu di tahun-tahun awal kredit dan utang pokoknya baru berkurang belakangan, tetap saja total yang dibayar tak akan jauh dari angka Rp 2 miliar.

(Baca juga: Kelas Menengah Tanggung dan Lingkaran Setan Dilema soal Rumah...)

Nah, kira-kira, 30 tahun nanti pas sudah rampung itu kredit. Harga rumah tersebut akan berapa, merujuk contoh kasus pertama? Ada iming-iming ketersediaan jalur kereta api.

Ini belum membahas aturan bank sentral yang mematok kredit untuk pembelian rumah pertama harus menyertakan uang muka minimal 15 persen. Masa pengembang perumahan sebegitu beraninya sekarang melanggar aturan demi jualan lancar?

Belum juga dibahas batas maksimal cicilan per bulan, catatan kelancaran pembayaran kredit selama ini (BI checking), apalagi survei kelayakan pemberian kredit dari bank yang menentukan maksimal duit kredit yang bisa ngucur.

Di mana negara?

Praktik serupa kedua contoh di atas bisa jadi juga biasa terjadi di semua wilayah di Indonesia. Skalanya saja yang mungkin beda.

Ilustrasishutterstock Ilustrasi

Salah yang kaprah menyebut rumah sebagai instrumen investasi dengan jargon "Senin harga naik" dan ketergantungan sumber pembiayaan dari kredit bank, sudah makin memperlihatkan wujudnya sebagai fenomena ayam dan telur untuk problem pemenuhan kebutuhan rumah dan lonjakan harga rumah.

(Baca juga: Kelas Menengah, Penggerak Utama Pasar Properti Indonesia)

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau