JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir, sektor properti Indonesia diperkirakan akan membaik pada tahun 2016 dan tahun-tahun mendatang. (Baca: 2016, Sektor Properti Bangkit)
Pasar properti masih akan didominasi permintaan domestik, dengan segmen kelas menengah sebagai kontributor terbesar untuk pertumbuhan berkelanjutan.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia terus tumbuh, dari nol persen penduduk pada tahun 1999 menjadi 6,5 persen pada 2011 atau setara dengan lebih dari 130 juta orang. Pada tahun 2030, jumlah kelas menengah diperkirakan akan melesat menjadi 141 juta orang.
Bila kelas menengah Indonesia dikategorikan dalam jumlah pendapatan per bulan, maka jumlah masyarakat yang berpenghasilan antara Rp 2,6 juta (195 dollar AS) hingga Rp 5,2 juta (389 dollar AS) sebanyak 38,5 persen.
Sedangkan kelas menengah yang berpendapatan Rp 5,2 juta (389 dollar AS) hingga Rp 7,8 juta (584 dollar AS) sebanyak 11,7 persen.
Jumlah lebih sedikit atau 5 persen adalah masyarakat yang berpenghasilan antara Rp 7,8 juta (584 dollar AS) hingga Rp 13 juta (974 dollar AS).
Sementara masyarakat perpendapatan antara Rp 13 juta (974 dollar AS0 hingga Rp 26 juta (1.947 dollar AS) hanya 1,3 persen.
Bagaimana dengan pasar kelas bawah dan atas?
Hasil riset Lamudi juga menunjukkan bahwa segmen pasar kelas bawah dan atas tidak akan mengalami perbaikan signifikan. Hal ini disebabkan banyak faktor.
Di antaranya adalah mahalnya harga tanah dan tingginya ongkos konstruksi. Selain itu minim infrastruktur yang memadai.
Itulah faktor-faktor yang menghambat pengembangan rumah kelas bawah atau tipe kecil untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Inisiatif kunci seperti Program Nasional Pembangunan Satu Juta Rumah akan membutuhkan kerjasama yang luas antara pemerintah, pengembang, dan lembaga keuangan.
Sementara segmen kelas atas tertekan karena masih rendahnya transparansi dan implementasi peraturan pajak penjualan atas mewah (PPNBM), dan Pajak Penghasilan (Pph 22), yang terus menjadi isu perdebatan di antara pelaku industri properti.
Perumahan
Perumahan baik tapak maupun vertikal masih akan menjadi bisnis dan instrumen investasi primadona. Pasalnya, 86 persen dari kekayaan rumah tangga merupakan aset riil, termasuk perumahan.
Survei pelanggan Lamudi pada 2015 menunjukkan mayoritas responden produktif berpenghasilan Rp 2,6 juta hingga Rp 13 juta per bulan giat mencari rumah baru.
Di Jakarta, misalnya, kelas menengahnya mencari hunian dekat dengan pusat kota untuk mengurangi pengeluaran transportasi. Karena itu, apartemen menjadi lebih populer di mata mereka, seiring harga rumah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Laporan terbaru Colliers Internasional Indonesia memperlihatkan, apartemen seharga rerata Rp 27,7 juta per meter persegi atau setara Rp 4 miliar untuk ukuran 150 meter persegi, paling diincar konsumen.
Sementara untuk rumah tapak, data Lamudi menunjukkan, harga rerata Rp 6,5 miliar berdimensi 400 meter persegi, menjadi obyek favorit konsumen.
Untuk menyeimbangkan permintaan hunian di dalam kota dan menawarkan solusi bagi mereka yang ingin menghindari perjalanan panjang untuk bekerja, banyak pengembang memperluas kawasan pertumbuhan baru di pinggiran.
Sebut saja, BSD City, Sentul City, Summarecon Bekasi, Orange County, Kota Wisata, Lippo Village, dan Alam Sutera.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.