Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Harapan di Ujung Mimpi Tak Terbeli

Kompas.com - 29/07/2017, 14:00 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis

Pertanyaannya, di mana negara? Di mana pemerintah?

Bukankah papan adalah hak dasar yang derajatnya sama dengan pangan dan sandang?

Ada beras dibeli lebih mahal dari petani, diolah dan dikemas sedemikian rupa lalu dijual dengan harga yang dianggap mahal, negara lewat kepolisian langsung bikin tindakan. Macam-macam alasannya dikemukakan sampai muncul pro dan kontra.

Nah ini, pemodal punya duit besar borong  tanah murah di daerah pinggiran, modal informasi rencana pemerintah soal pembangunan infrastruktur, lalu di situ dibangun perumahan dengan hitungan harga tanahnya berlipat-lipat kali harga beli. Pemerintah diam saja? Negara diam saja?

Tak ada batasan luas pembelian dan penguasaan lahan, tak ada ketentuan harga yang layak jadi rujukan nyata, dan tak peduli banyak orang akan terjebak masalah rente massal dan bersambung lintas-masa.

Sudah begitu, duit pemodal perumahannya pun bisa jadi didapat dari kredit bank juga.

Mungkin perumahan posisinya sekarang sama dengan air. Iya, air yang "cuma" disedot dari mata air di dalam tanah, lalu konon diolah yang kemudian dikemas, ditempeli merek, dan jadi berbanderol harga sesuai hitungan pemilik merek.

Mungkin, yang penting administrasi perusahaan beres, bayar pajak, pasang iklan, pakai warga setempat jadi pegawai meski buat level rendahan. Ekonomi terlihat bergerak, bukan?

Masalah sumber air itu aslinya tak cuma ada di bawah lahan pemilik merek serta seperti apa imbas penyedotan besar-besaran terhadap masa depan sumber tersebut, masyarakat, dan lingkungan hidup, otoritas seolah tutup mata.

Konstitusi berasa basi

Kalau melihat semua ini, bisa jadi konstitusi memang sudah basi dalam praktik dan kenyataan. Soalnya, di antara yang selalu selamat dalam empat kali amandemen UUD 1945 adalah tiga ayat dari Pasal 33, meski pasal tersebut lalu jadi lima ayat.

Ayat (3) dari pasal tersebut jelas-jelas berbunyi "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI Backlog

Saat segala hal dilepas jadi mekanisme pasar seperti urusan rumah ini, tak perlu rasanya mengaku prihatin terhadap kesenjangan sosial yang menganga lebar.

Tak usah heran juga karenanya bila nanti mendapati orang kaya makin kaya, kelas menengah makin gepeng terjepit dari atas dan bawah, sementara kelas bawah hanya bisa makin menggelepar tak berdaya di lingkaran kemiskinan.

Mimpi masyarakat adil dan sejahtera setelah melewati gerbang kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, sepertinya bakal masih jauh di awang-awang untuk jadi kenyataan. Mimpi punya rumah saja sudah berat di pengajuan pembiayaan dan cicilan bulanan.

Kecuali, tentu saja, perubahan mau dimulai dan terjadi lebih cepat menuju perbaikan dan kebaikan bersama demi sebesar-besar manfaat.

Tak perlu juga, kelas menengah Indonesia kehilangan rumah cicilannya gara-gara kredit bank diakal-akali demi jualan, baik jualan rumah maupun target kucuran kredit, seperti terjadi di Amerika Serikat pada kisaran 2008.

Namun, bisakah hal ini diwujudkan? Ataukah makin lama punya rumah layak bakal jadi mimpi muluk tak akan terbeli karena mekanisme pasar yang berjalan sekarang?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau