Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Orang Kota…

Kompas.com - 25/05/2016, 22:51 WIB
Sri Noviyanti

Penulis

KOMPAS.com – “Idealnya sih semakin kita ‘ditumpuk’, (kita) semakin akrab dong, semakin  hangat”. Gerutuan itu meluncur dari mulut lelaki yang keluar dari kamar bernomor pintu 1203, dalam film Urbanis Apartementus.

Rindra, lelaki itu yang diperankan Abie Jie Assegaf, sedang terheran-heran dengan gaya bertetangga di hunian vertikal itu. Meski berpuluh-puluh kamar terisi dalam lorong gedung di lantai yang sama dengan kamarnya, dia melihat tak ada penghuni yang saling tegur.

Padahal, hampir setiap hari mereka bertemu muka, setidaknya di lift atau lorong. Hidup dekat, tetapi bersekat. Atas nama privasi, interaksi menjadi barang langka.

Film indie tersebut mengangkat gaya hidup baru warga perkotaan yang semakin jauh dari model kehidupan bertetangga di lingkungan komunal. Senyum ramah dan tegur sapa bukan lagi milik mereka yang tinggal berdekatan, termasuk di hunian seperti apartemen.

Dulu, orang Indonesia hampir selalu diidentifikasi dengan label ramah, suka tersenyum, dan saling membantu. Namun, gaya hidup para penghuni apartemen di perkotaan Indonesia pada saat ini jauh panggang dari api dengan penggambaran itu.

Privasi vs interaksi

Urbanis Apartementus yang berdurasi 80 menit ini tak bertele-tele memberikan penjelasan soal penyebab dan solusi atas kondisi kehidupan di apartemen. Namun, film ini jelas menggambarkan fenomena yang makin menggejala di perkotaan, apalagi di apartemen, tentang redupnya makna hidup bertetangga.

Dalam beberapa tahun terakhir, apartemen sudah menjadi alternatif baru untuk hunian di kota besar. Aktivitas yang terpusat di kota dan harga tanah untuk rumah tapak yang melangit, membuat banyak orang mengambil keputusan membeli atau menyewa apartemen.

“(Namun), ada perbedaan respons antar-kalangan yang tinggal di apartemen,” ujar pengamat lingkungan perkotaan Deddy K Halim seperti dikutip harian Kompas, Minggu (30/11/2014).

Thinkstock Ilustrasi kesibukan kaum urban

Menurut Deddy, kalangan atas sengaja tinggal di apartemen demi mencari privasi sehingga cenderung tidak menilai penting interaksi fisik dengan tetangga.

“Mereka (kalangan atas) bisa mencari lingkungan pergaulan di luar apartemen, seperti klub eksekutif yang mendukung pemenuhanprestise,” imbuh Deddy.

Sebaliknya, kata Deddy, kalangan menengah masih merasa interaksi fisik dengan tetangga penting. Akan tetapi, kondisi perkotaan memunculkan banyak keterbatasan akses, termasuk perubahan dari lingkungan yang tadinya “horizontal” menjadi “vertikal”.  

Kenyataannya, di banyak kawasan apartemen, tempat bermain anak pun harus disesuaikan. Jangan mencari lapangan bola berlumpur di kompleks apartemen ya…

Bukan tidak mungkin

Hilangnya sarana-sarana untuk interaksi dalam kondisi paling apa adanya seperti lapangan tersebut, tak dirasa juga mengubah pola relasi di antara sesama penghuni apartemen.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau