Buktinya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) baru akan menerapkan pola baru untuk menghindari polemik pembebasan lahan proyek kereta cepat.
Padahal, kick off pembangunan kereta cepat dengan rute sepanjang 142,3 kilometer sudah digulirkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo pada Kamis (21/1/2016).
Pembebasan lahannya, kata Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan, dengan cara pembelian tanah dan pola baru.
Masyarakat pemilik lahan tidak sekadar dipindahkan ke tempat yang jauh. (Baca: Hindari Konflik Pembebasan Lahan, Menteri ATR/BPN Terapkan Pola Baru)
"Pemerintah seharusnya punya strategi penguasaan lahan di kawasan-kawasan yang bakal dilintasi kereta cepat Jakarta-Bandung," ujar Bernardus.
Strategi tersebut adalah melibatkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dan otoritas di bawahnya, seperti Pemerintah Kabupaten Karawang, Pemerintah Kabupaten Purwakarta, dan Pemerintah Kabupaten Bandung.
Pemerintah, menurut Bernardus, tidak boleh menyerahkan pembebasan dan patokan harga lahan pada mekanisme pasar karena akan menjadi bencana. Harga lahan akan semakin melejit sampai akhirnya pembangunan pun tak terkendali.
"Sekarang pemerintah harus segera keluar dan menyesuaikan dengan rancangan induk atau master plan sistem kota-kota/kabupaten dan rencana detail kota yang akan dilintasi kereta cepat ini," beber Bernardus.
Kelemahan besar dari pembangunan megaproyek infrastruktur semacam kereta cepat ini adalah minimnya kepemilikan dan penguasaan tanah pemerintah.
Hal itu menyebabkan keberlanjutan daya dukung lahan tidak bisa dijaga. Selain itu, akibat lahan sudah dikuasai pasar, ketersediaannya menjadi terbatas.
"Sehingga, pembangunan fasilitas umum untuk kereta cepat maupun fasilitas lainnya tidak pernah berkelanjutan dan minim daya dukung," tandas Bernardus.