JAKARTA, KOMPAS.com - Harga lahan di Jakarta, terutama kawasan Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan, terkoreksi alias mengalami penurunan. Koreksi harga sebesar sepuluh hingga duapuluh persen.
Menurut Prinsipal Li Realty, Ali Hanafia, koreksi terjadi karena selama kurun dua tahun (2012-2013) saat bisnis properti booming, harga lahan di kedua kawasan tersebut meroket tajam, cenderung tidak wajar.
"Saat itu, lonjakan harga lahan berlangsung karena permintaan sesaat atau semu. Ketika banyak orang mencari lahan, semua mengarah ke sana. Biasa, orang Indonesia sukanya latahan," tutur Ali kepada Kompas.com, Jumat (28/8/2015).
Ali menambahkan, perubahan harga mulai terlihat pada semester kedua tahun 2014 lalu, ketika kondisi perekonomian mulai melambat. Pasar tidak lagi segencar, dan seagresif tahun-tahun sebelumnya mencari lahan-lahan untuk ditransaksikan.
Sebelumnya, pada tahun 2012 dan 2013, harga transaksi senilai Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per meter persegi.
Demikian halnya dengan Jakarta Pusat. Saat masa puncaknya, harga transaksi bisa tembus angka Rp Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per meter persegi. Namun, kini, harga transaksi turun menjadi sekitar Rp 125 juta-Rp 150 juta per meter persegi.
"Jakarta Pusat adalah satu-satunya kawasan di Jakarta yang tidak akan mengalami lagi kenaikan karena harganya sudah sangat tinggi. Selain itu, pasokan lahan kosong pun terbatas," tandas Ali.
Harga lahan di Jakarta Barat baru naik pesat pada tahun 2014. Saat ini patokannya masih berkisar Rp 35 juta hingga Rp 50 juta per meter persegi. Itu pun, Ali nilai masih di bawah harga (under valued).
Sedangkan Jakarta Timur, mengalami stagnasi karena keterbatasan aksesibilitas, koneksi terputus dengan pusat bisnis dan komersial Jakarta yang notabene berada di Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan, serta penataan kotanya yang tidak rapi.
"Jakarta Timur sebenarnya punya Sentra Primer Baru Timur (SPBT) di Pulo Gebang. Namun, karena pengembang yang menggarap SPBT ini tidak memiliki visi dan komitmen yang mumpuni dan kapasitas modal yang terbatas, membuat Jakarta Timur tersendat perkembangannya," papar Ali.
Mereka yang tidak mampu membeli properti di Jakarta Utara, Jakarta Selatan, dan Jakarta Barat, akan mengalihkan perhatiannya ke Jakarta Timur. Harga propertinya masih lebih kompetitif.