JAKARTA, KOMPAS.com - Klaim pengembang atas produk-produknya sebagai sunrise property mulai menggejala kala perlambatan pasar properti terjadi awal 2014 hingga kini. Saat itu, pasar melemah, tingkat penjualan menurun, dan akselerasi pertumbuhan harga melambat sebagai dampak kebijakan pengetatan kredit berupa loan to value dan tingginya suku bunga.
Mudah ditebak jika pengembang pun kemudian berlomba melakukan berbagai cara demi mempertahankan tingkat penjualan dan tetap berproduksi. Salah satunya adalah kampanye marketing dengan menggunakan embel-embel sunrise property untuk mendongkrak nilai properti sekaligus dapat menarik minat calon konsumen.
Kendati ada beberapa yang sukses dengan gimmick tersebut, tak sedikit juga yang gagal. Namun, apa sejatinya yang dimaksud dengan sunrise area atau sunrise property? Bagaimana pula kriterianya?
CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono menjelaskan, tidak ada definisi baku yang dapat menerangkan dengan jelas sunrise area atau sunrise property. Menurut dia, yang ada adalah kawasan yang sedang tumbuh dan berkembang dengan tingkat permintaan tinggi.
"Kawasan yang sedang dalam in demand atau yang lagi hot dan dicari orang, itu adalah kawasan yang sedang bersinar. Tingkat permintaan tinggi, pertumbuhan harga pun melejit. Sementara harga atau nilainya sendiri masih relatif lebih rendah dibanding kawasan yang sudah mapan," tutur Hendra kepada Kompas.com, Sabtu (21/2/2015).
Hal senada dikemukakan Komisaris PT Hanson Land International Tbk., Tanto Kurniawan. Menurutnya, ibarat matahari terbit, sinarnya masih hangat yang kemudian menjadi panas dan lalu meredup padam.
"Kawasan properti yang sudah "dewasa" diibaratkan sebagai matahari yang bersinar pada pukul 11.00 hingga 14.00 siang, sangat menyengat panasnya. Tetapi pada pukul 15.00 hingga 18.00 sore sinarnya makin redup dan padam," kata Tanto.
Jadi, Tanto melanjutkan, kawasan sunrise ada pada saat pengembang menemukan suatu daerah yang menjanjikan untuk dikembangkan sebagai suatu kawasan penyangga baru (hinterland). Kawasan baru ini tidak jauh dari kawasan atau daerah yang sudah padat dan mapan, baik hunian maupun fasilitasnya.
Kawasan sunrise
Ada pun kawasan yang termasuk dalam kategori sunrise, menurut Hendra adalah Serpong dan sekitarnya mengarah ke barat dan selatan, kawasan sepanjang Jakarta Outer Ring Road (JORR), dan kawasan sepanjang Jakarta Outer Ring Road (JORR) 2. Termasuk di dalamnya, koridor TB Simatupang, Jatiasih, Cikunir, Pulo Gebang di timur, dan Puri Indah, Taman Permata Buana, serta Puri Kembangan di barat.
Khusus Serpong, Hendra mengatakan sudah sangat mapan. Pasalnya, pengembangan properti terjadi demikian masif. Harga jual pun sudah sangat tinggi dengan nilai lahan sudah menembus angka rerata Rp 16 juta per meter persegi. Fasilitasnya pun terbilang lengkap.
"Itulah mengapa Sinarmas Land Group melalui PT Bumi Serpong Damai Tbk., terus menggenjot pengembangan kawasan pusat bisnisnya (central business district atau CBD), agar dapat mendongkrak nilai propertinya lebih tinggi lagi," ungkap Hendra.
Selain itu, Hendra menilai, kolaborasi yang ditempuh Sinarmas Land menggandeng Hong Kong Land merupakan strategi jitu. Proyek kerjasama ventura, Nava Park, menyasar segmen atas, di sisi lain Sinarmas land sendiri melahirkan produk-produk baru seharga kurang dari Rp 1 miliar dengan membidik kelas di bawahnya yakni menengah.
Namun demikian, apa pun itu, kata Hendra sah-sah saja dilakukan. Mengingat orientasi bisnis adalah profit. Lepas dari itu, strategi Sinarmas Land tersebut mampu menaikkan pamornya kembali sehingga tercipta harga patokan baru kelas menengah atas. Dengan demikian kenaikan harga properti segmen di bawahnya akan terdongkrak secara otomatis bila demand masih tinggi.
"Kesimpulannya, Serpong masih bisa dibilang kawasan sunrise. Karena lahannya masih luas dan bisa dikembangkan dengan berbagai macam fasilitas. Termasuk convention center, hotel bertaraf internasional, taman air dan lain sebagainya," tandas Hendra.