Menurut Amran, alasan pertama karena memang pengembang masih memiliki unit yang belum terjual dan jumlahnya lebih tinggi dari yang sudah terjual. Atau, masih banyak yang belum terjual. Kalau PPPSRS didirikan, sementara masih ada yang belum terjual, pengembang khawatir. Unitnya masih belum banyak yang laku.
Alasan kedua, ada keuntungannya bagi pengembang mengelola rusun sendiri. Biaya itu tidak hanya ada dari service charge, tapi juga ada dari pemasukan. Amran mengaku, ada PPPSRS yang bisa menghasilkan hingga miliaran Rupiah per tahun.
"Bedakan masalah PPRS yang masih di bawah pengembang dan sudah di luar pengembang. Masalahnya juga cukup kompleks. Orang beli apartemen, tidak ditinggalin, begitu lima atau enam bulan, dikasih service charge dia kaget karena tidak tinggal di sini. Mereka tidak tahu risikonya. Penghuni harus bayar service charge, sinking fund, asuransi, sementara mereka tidak mengerti. Jadi, orang yang tinggal di situ tidak mengerti, bagaimana tinggal di apartemen atau tinggal di rumah sendiri," tutur Amran.
Mnurutnya, dari kedua alasan itu, terbanyak adalah alasan kedua. Besarnya uang yang dikumpulkan tentu menarik bagi pihak mana pun. Karena itu, meski pun apartemennya sudah bebas dari pengembang, tidak mustahil PPPSRS yang dibentuk bisa lebih kacau dari sebelumnya.
"Tidak semua pengembang tidak baik, tapi tidak semua pembeli juga benar," pungkasnya.
Praktisi Manajemen Properti Bambang Setiobudi menambahkan bahwa dalam beberapa proyek yang dia kelola, uang saldo apartemennya bahkan mencapai Rp 100 miliar. Angka sampai ratusan miliar ini bisa menjadi "kue" rebutan, antara pengembang dan pengelola.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.