Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fabiola Hutagalung, S.H.
Penasehat Hukum

Partner dan penasihat hukum di kantor hukum Hanafiah Ponggawa & Partners (HPRP Lawyers)

Persyaratan Hunian Berimbang bagi Pengembang: Jadi Beban atau Kesempatan?

Kompas.com - 04/10/2016, 14:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan untuk menanggulangi masalah kekurangan tempat tinggal atau backlog di Indonesia, diantaranya menerapkan ketentuan Hunian Berimbang bagi para pengembang.

Ketentuan ini mewajibkan setiap pengembang untuk membangun rumah tapak atau rumah susun murah yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketentuan ini diatur dalam UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Perumahan serta UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No.10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman Dengan Hunian Berimbang, yang telah direvisi dengan PM No.7 tahun 2013.

Lebih lanjut, Pemerintah menentukan batasan harga rumah tapak dan rumah susun murah berdasarkan Peraturan Menteri No.425/KPTS/M/2015 tentang Batasan Harga Jual Rumah Yang Dapat Diperoleh Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera.

Sebagai contoh, harga jual rumah tapak murah di Jakarta menurut Peraturan Menteri tersebut maksimal adalah Rp 135 juta, sementara itu harga jual untuk rumah susun murah per unit di Jakarta Pusat maksimal Rp 334.800.000 dengan harga Rp 9.300.000 per meter persegi.

Komposisi Hunian Berimbang untuk pengembang rumah adalah dengan rasio 3 rumah mewah : 2 rumah medium : 1 rumah murah, sedangkan untuk rumah susun minimal 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.

Rumah medium adalah rumah dengan harga jual 1 hingga 6 kali lebih tinggi dari harga rumah murah. Sementara rumah mewah memiliki harga jual 6 kali lebih tinggi dari harga rumah murah.

Sedangkan rumah susun komersial adalah setiap rumah susun dengan harga jual lebih tinggi dari rumah susun murah.

Dalam ketentuan ini, pengembang diwajibkan membangun rumah tapak dan rumah susun murah di Kabupaten dan/atau Kota yang sama dengan lokasi perumahan komersialnya dibangun.

Khusus Jakarta, rumah tapak dan rumah susun murah dapat dibangun di luar wilayah kotamadya, tetapi harus di wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Keseriusan pemerintah terlihat pada UU yang menyatakan adanya sanksi untuk setiap pelanggaran ketentuan tersebut, seperti penutupan lokasi pembangunan, dan/atau pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimum Rp 20 miliar.

Sanksi bagi perusahaan pengembang rumah susun lebih berat, yaitu 3 kali dari denda maksimal, selain sanksi pidana tambahan seperti pencabutan izin dan status hukumnya.

Banyak pengembang menganggap ketentuan Hunian Berimbang ini sulit untuk dipenuhi, salah satunya karena harga tanah yang selalu meningkat.

Bahkan muncul gugatan materi untuk judicial review atau uji materi UU oleh sebuah lembaga pengkajian pengembangan perumahan dan perkotaan.

Menyadari keberatan dari pengembang, dalam perkembangannya, Pemerintah memungkinkan pengembang untuk bekerja sama dengan pengembang lain untuk memenuhi kewajiban ini.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau