LOMBOK, KOMPAS.com - Dibandingkan Gili Trawangan atau Gili Meno, Pulau Gili Air lebih sepi. Alamnya bagus dan terjaga sehingga potensinya meraup wisatawan mancanegara sangat besar. Namun, hanya investor dengan kemauan besar mau melirik pulau ini.
"Padahal, saya liat potensi pasarnya bagus. Kondisi alam dan lautnya bagus. Tamu yang datang ke sini pun bule semua, nyaris seratus persen. Itu kesan saya tahun 2013 datang pertama kali ke sini dan langsung cocok," ujar Djaja Roeslim, Presiden Direktur PT Trias Jaya Propertindo (TJP), kepada KOMPAS.com, Sabtu (8/8/2015), di Gili Air Lagoon, Gili Air, Lombok.
TJP memang baru saja menggarap pembangunan resor Gili Air Lagoon. Peletakkan batu pertamanya dilakukan Maret 2015. Lima bulan kemudian, Juli 2015, tepatnya sebelum Lebaran, TJP sudah melaksanakan soft opening resor tersebut.
"Kami bekerjasama dengan Pemda (Pemprov) sebagai pemilik lahan. Mereka punya lahan, tapi tak bisa dikembangkan, sementara kami punya konsep. Jadi, kami tawarkan kerjasama dengan konsep infrastruktur lengkap. Nyatanya, belum jadi saja sudah terisi penuh resor ini," ujar Djaja.
Berdiri di lahan seluas 2,3 hektar, TJP membagi pembangunan resor tersebut menjadi dua tahap. Tahap pertama Gili Air Lagoon terdiri dari 17 unit vila hotel dengan nilai invetasi mencapai Rp 20 miliar. Rencana ke depan, tutur Djaja, total unit vila hotel itu akan bertambah menjadi 57 unit.
"Untuk tahap kedua kami siapkan 40 unit vila. Bahkan, lengkap dengan diving school, beach club, dan beach restaurant," ujarnya.
Digabung dengan tahap kedua, lanjut Djaja, nilai investasinya untuk proyes resor tersebut akan membengkak menjadi Rp 70 miliar. Pasalanya, dia memperkirakan akan merogoh pundi investasinya hingga Rp 50 miliar untuk tahap kedua ini.
Family island
Djaja mengakui, awal ke datangannya ke Gili Air pada 2013 lalu itu masih meraba-raba. Ia hanya sepintas berkeliling pulau, belum berpikir untuk menakar keuntungan sama sekali, apalagi lahan resor Gili Air Lagoon itu berdiri di lahan sewa milik Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Awalnya kami sewa, setelah terbangun jadi BOT (Build, Operate and Transfer). Kami masih belum tahu berapa tahun sewanya, tapi kami perkirakan 30 tahun. Investasinya mahal, terutama material," ujar Djaja.
Menurut dia, cost untuk membiayai fisik bangunan di pulau (Gili Air) lebih tingi dibandingkan membangun di daratan. Besarnya bisa 50 persen lebih mahal, bahkan dua kali lipat dari Jakarta.
"Tantangannya memang banyak. Desain dan mengurus izinnya lama sekali. Urus sertifikat setahun, IMB juga begitu. Biaya materialnya juga sangat mahal," ujar Djaja.
Namun, ia mengaku sangat optimistis okupansi hotel untuk jangka pendek mencapai 90 persen setiap hari, terutama periode Juli sampai September. Untuk low season saja, ia masih yakin okupansinya tembus 60 persen.
Apa yang membuatnya yakin? Menurut Djaja, di seluruh Gili Air saat ini tidak ada resor berkonsep lagoon. Dengan standarnya hotel bintang empat, vila hotel yang dibangunnya ini memang tampil berbeda dengan resor-resor lainnya di situ. Perbedaan paling mencolok adalah konsep kolam renang yang dibuat melingkar dikelilingi 17 unit vila resor tersebut.
"Untuk desain kami gabungkan tradisional dan modern. Di luar orang liat tradisional, tapi
dalamnya hotel modern, bukan vila. Kalau hotel room kan lengkap fasilitasnya," kata Djaja.
"Kami di sini menjual mood untuk bule-bule itu. Saya juga sudah lihat Trawangan, dan itu sangat ramai. Trawangan itu party island, sedangkan Gili Meno lebih seperti honeymoon island. Nah, Gili Air itu kan family island, kami buat resor ini seperti itu, membuat keluarga nyaman," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.