"Usulan harga ini berdasarkan luasan, bukan lagi unit dan bebas PPN," ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Syarif Burhanuddin di Kementerian PUPR, Jakarta, Kamis (2/7/2015).
Untuk membantu memenuhi kewajiban itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng pengembang. Dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI mengajak DPD REI untuk duduk bersama membicarakan pola dan lahan yang akan digunakan.
"Pemprov mencoba mengumpulkan tingkat kesulitan pengembang dalam merealisasikan hunian berimbang dan kewajiban 20 persen, dengan membangun rusun," ujar Syarif.
Menurut Syarif, harga rusun diupayakan lebih terjangkau mengingat lahan di Jakarta sangat terbatas. Untuk itu, karena kebanyakan pengembang sulit mencari lahan, pemerintah pun berpikir untuk menyiapkan lahan-lahan baik milik pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak digunakan (idle).
Lahan tersebut dikerjasamakan dengan pengembang untuk dibangun rusun bagi masyarakat menengah ke bawah. Selama ini, kata Syarif, karena sulit mencari lahan di pusat kota, pengembang pun membangun rusun di pinggir kota Jakarta atau bahkan di luar kota. Padahal, jika para pekerja tinggal di luar kota, transportasinya akan lebih mahal.
"Pengembang kesulitan cari lahan. Kalau mau bangun pun di luar kota. Ini menyulitkan karyawan yang bekerja di Jakarta," sebut Syarif.
Sebagaimana diketahui, pengembang yang membangun di atas area seluas 5.000 meter persegi wajib membangun rumah susun (rusun) 20 persen dari luas efektif lahan yang dikembangkan.
UU ini mewajibkan pengembang membangun hunian berimbang yang tertuang dalam konsep 1:2:3. Artinya, untuk 1 rumah mewah, pengembang wajib membangun 2 rumah menengah dan 3 rumah murah.