Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masa Depan Bisnis Properti Suram!

Kompas.com - 01/04/2015, 20:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

SERPONG, KOMPAS.com - "Kami akan mencari strategi baru untuk menyiasati perkembangan aktual bisnis properti. Yang pasti kami fokus bermain di ceruk yang masih punya potensi untuk tumbuh. Meskipun pertumbuhannya tidak lebih baik dari tahun 2014 lalu".

Managing Director Corporate Strategy and Services Sinarmas Land Group, Ishak Chandra, mengemukakan pendapatnya terkait evaluasi kuartal pertama dan prospek bisnis properti pada kuartal berikutnya tahun ini, kepada Kompas.com, di Serpong, Rabu (1/4/2015).

Menurut Ishak, perlambatan pada separuh tahun 2014 ternyata berlanjut hingga sekarang. Berbagai wacana kebijakan seperti pengenaan pajak properti, kenaikan bahan bakar minyak (BBM), suku bunga yang masih tinggi, serta tingkat inflasi, turut memengaruhi dinamika bisnis properti.

"Pada gilirannya investor, dan pembeli memilih aksi menunggu (wait and see). Karena itu, kami sekarang lebih hati-hati, dalam membangun proyek. Kalau pun ada produk baru yang dirilis, itu sudah mengalami penyesuaian di sana-sini. Dan kami bermain aman di angka Rp 1 miliaran per unit," ungkap Ishak.

Produk terbaru Sinarmas Land di perumahan Kota Wisata klaster Nebraska contohnya, dipatok dengan harga Rp 1,1 miliar per unit. 

Senada dengan Ishak, Presiden Keller Williams Indonesia, Tony Eddy, bahkan dengan lugas menilai bahwa masa depan bisnis properti di Indonesia suram. Hal ini disebabkan oleh pertikaian politik yang tak kunjung kelar, sehingga masyarakat bosan.

"Akibatnya banyak investor yang menunda investasi baik untuk membangun, atau membeli rumah. Selain pertikaian politik, kebijakan regulasi juga sangat tidak bersahabat dan mengganggu dinamika pasar, macam pengenaan pajak properti," papar Tony.

Lebih jauh dia menjelaskan, lesunya bisnis properti juga ikut diciptakan oleh pelakunya sendiri yakni pengembang. Mereka berlomba membangun secara hit and run dengan ekspektasi pertumbuhan harga tinggi tanpa melihat kemampuan serapan pasar.

"Tahun 2012 dan 2013 itu kenaikan harga gila-gilaan. Nggak ada kontrol sama sekali. pengembang sangat bernafsu menaikkan harga seenaknya tanpa memperhatikan bagaimana mempertahankan pasar agar tetap kondusif dan bergairah," imbuh Tony.

Jika pasar terus menerus dicekoki gimmick kenaikan harga rumah baru sekian persen, lanjut dia, maka pasar sekunder akan mati. Jika pasar sekunder mati, harga akan terkoreksi untuk kemudian jatuh signifikan.

"Sekarang saja gejala ke arah itu sudah ada. Transaksi di pasar sekunder sudah lesu sejak dua tahun terakhir. Kantor-kantor broker merevisi targetnya tahun ini. Padahal, pasar seimbang itu kalau pasar primer dan sekunder sama-sama hidup, sama-sama kondusif. Ini yang tidak digarap dan diperhatikan sama sekali," tandas Tony.

Seandainya pasar sekunder bisa seiring dengan pasar sekunder, maka perlambatan seperti saat ini tidak akan terjadi. Sekarang, kata Tony, pertumbuhan harga rumah di pasar sekunder jauh lebih rendah ketimbang harga rumah di pasar primer. 

"Pertumbuhannya tak sampai 10 persen. Sementara pertumbuhan harga di pasar primer bisa sampai 30-40 persen. Jadi bisa saya katakan, masa depan bisnis properti Indonesia suram," pungkas Tony.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau