Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketimbang Menghapus IMB, Pemerintah Diminta Sinkronkan Aturan Pusat-Daerah

Kompas.com - 21/09/2019, 07:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil untuk menghapus izin mendirikan bangunan (IMB) dan menggantinya dengan peraturan pengganti undang-undang (Perpu) tentang Omnibus Law disesalkan sejumlah pihak.

Tak hanya oleh para pelaku bisnis terkait, terutama pengembang, meskipun penghapusan IMB ini dimaksudkan Sofyan untuk memperlancar investasi properti, juga pakar pertanahan dan properti.

Hal ini karena sejumlah prinsip dasar dan potensi persoalan yang akan timbul di kemudian hari jika kelak IMB jadi dihilangkan.

Baca juga: Menyoal Penghapusan IMB, Benteng Terakhir Perizinan Bangunan

Padahal, IMB adalah benteng terakhir yang harus dikantongi pengembang (juga masyarakat umum) untuk mendirikan sebuah bangunan, baik rumah atau fungsi dan jenis properti lainnya.

Esensi IMB adalah izin pemanfaatan ruang yang paling teknis dan paling terakhir sebelum suatu pembangunan bisa dilaksanakan.

Adapun izin pemanfaatan ruang lain adalah izin prinsip, izin lokasi, dan izin penggunaan pemanfaatan tanah (IPPT).

Kewenangan untuk izin prinsip diserahkan kepada pemda. Namun, untuk izin lokasi dan IPPT sejatinya diterbitkan sebelum IMB untuk proyek-proyek tertentu atau untuk perolehan tanah yang melebihi skala luasan tertentu.

Pakar hukum pertanahan dan properti Eddy Leks berpendapat, IMB dibuat untuk mengendalikan tata ruang.

Tak hanya itu, IMB juga berfungsi untuk menjaga keselarasan bangunan-bangunan di suatu zona tertentu dalam skala kecil (setingkat kecamatan) dan juga skala lebih luas, yaitu kabupaten/kota dan provinsi.

Baca juga: Penghapusan IMB Masuk Rencana Omnibus Law

Untuk bangunan-bangunan fungsi dan skala tertentu, tentunya tetap perlu melibatkan Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) yang mengkaji aspek arsitektural, instalasi, dan konstruksi terhadap bangunan tersebut.

Hal ini penting untuk memastikan tata kota dan penampilan bangunan yang selaras dengan tujuan dari kota tersebut, serta aspek keselamatan dari bangunan ketika dioperasikan.

Karena itu, rencana penghilangan IMB harus dievaluasi dan ditinjau ulang. Alih-alih dapat memperlancar investasi, malah menimbulkan sejumlah persoalan kemudian.

"Saya menilai aturan online single submission (OSS) sebenarnya sudah cukup baik. Yang perlu diperhatikan oleh pemerintah pusat adalah implementasi dari aturan tersebut dan sinkronisasi antara aturan nasional dan aturan daerah, jika ingin menarik investasi lebih banyak," jelas Eddy menjawab Kompas.com, Jumat (20/9/2019).

Belajar dari OSS

OSS sendiri dibentuk dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, dengan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik.

Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 Juni 2018.

Ditegaskan dalam PP ini, jenis Perizinan Berusaha terdiri atas: a. Izin Usaha; dan b. Izin Komersial atau Operasional. Sementara pemohon Perizinan Berusaha terdiri atas: a. Pelaku Usaha perseorangan; dan b. Pelaku Usaha non perseorangan.

Perizinan Berusaha, menurut PP ini, diterbitkan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, termasuk Perizinan Berusaha yang kewenangan penerbitannya telah dilimpahkan atau didelegasikan kepada pejabat lainnya.

“Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud, termasuk penerbitan dokuman lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui Lembaga OSS,” bunyi Pasal 19 PP ini.

Lembaga OSS berdasarkan ketentuan PP ini, untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota menerbitkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud, dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.

Nah, meski sudah ada OSS, namun dalam pengamatan Eddy, masih banyak aturan atau regulasi yang justru masih tumpang tindih.

Tidak saja antara sesama regulasi yang diproduksi pemerintah pusat secara horisontal, melainkan juga secara vertikal antara aturan pusat dan daerah.

"Benturan ini yang kemudian mengakibatkan dualisme perizinan, izin berdasarkan OSS dan izin berdasarkan aturan daerah. Ini tidak boleh terjadi. Saya menilai inilah yang perlu menjadi fokus pemerintah," imbuh Eddy.

Belajar dari aturan OSS, pemerintah pusatsebaiknya lebih berhati-hati dalam menerbitkan peraturan atau bahkan menghilangkannya.

Kendati maksudnya baik, yaitu untuk menyederhanakan perizinan, namun, sebelum menerbitkan instrumen hukum yang bersifat lintas sektor, perlu dilakukan kajian secara mendalam.

Kajian tersebut juga hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah daerah.

Jika aturan tersebut tidak didukung dan tidak sinkron dengan kepentingan pemerintah daerah, dikhawatirkan aturan perizinan akan menjadi makin rumit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau